Kamis, 03 Februari 2011

PENULISAN HADITS DALAM PERSPEKTIF ORIENTALIS





Pendahuluan
Dalam segi keilmuan (baca: sains modern) bangsa Barat memang telah mengalami kemajuan yang sangat pesat pada perjalanan abad ini, terbukti keilmuan merupakan tolok ukur kemajuan sebuah bangsa sehingga bangsa yang mempunyai kemampuan dalam bidang keilmuan yang tinggi merupakan bangsa yang maju, seperti halnya bangsa-bangsa Barat. Namun dalam hal agama bangsa-bangsa Barat lebih mengalami  keterpurukan dibandingkan bangsa-bangsa Timur, hal itu terjadi karena mereka lebih memilih positifisme dibandingkan teologi yang lebih condong terhadapa hal ketuhanan. Positifisme yang mereka pilih akan menggirirng mereka terhadap hal-hal yang berbau keduniawian, karena pada dasarnya posistifisme merupakan sebuah faham yang lebih percaya terhadap apa saja yang pasti dan masuk akal, serta mengklaim semua hal yang bersifat abstrak dan sulit diterima akal tersebut adalah keliru. Alhasil sampai sekarang ini bangsa-bangsa Barat mempelajari  atau mengadakan penelitian terhadap berbagai disiplin ilmu ketimuran baik, agama, sejarah, dan permasalahan-permasalahan sosial kultural bangsa-bangsa Timur, yang kemudian orang yang melakukan hal itu disebut dengan Orientalis.[1] Mulai sejak kemunculannya pada abad ketujuh Hijriah di Andalusia (Spanyol),[2] Secara global hal yang sangat memotivasi para orientalis untuk melakukan studi-studi ketimuran, Islam pada khususnya adalah agama, imperialisme, bisnis, politis, dan ilmiah.[3] Tapi sasaran mereka lebih cenderung kepada agama yang ada di bangsa-bangsa Timur (baca: Islam), bagaimana cara menyerang Islam dan memutar balikkan fakta kebenaran ajaran Islam. Dengan cara demikian, mereka menyampaikan pada publik bahwa Islam hanyalah agama kebudayaan Arab yang tidak layak untuk dianut dan diikuti. 
Dewasa ini, kebencian mereka makin menjadi-jadi setelah mereka menyaksikan bahwa pesatnya peradaban sains modern yang terjadi dibangsa Barat malah menggoncangkan keyakinan orang-orang Barat tersebut atas ajaran agma-agama Nasrani yang telah mereka dapatkan dari para leluhur mereka. Selain itu mereka juga menyadari akan ketidak asliannya kitab mereka yang sudah banyak mengalami pembaharuan oleh campur tangan manusia dibandingkan dengan kitab bangsa Timur (baca: al-Quran) yang memang terjamin keasliannya dan keterpeliharaannya dari campur tangan manusia. Terlebih setelah mereka menyaksikan dan merasakan hasil dari peristiwa Futuhat Islmaiyyah, prang Salib, dan penaklukan-penaklukan  pada masa Utsmaniyah di Eropa, disinyalir sangat mempengaruhi kondisi jiwa bangsa Barat, berupa rasa takut (syndrome) terhadap kekuatan Islam sampai mereka membenci penganutnya. Sehingga dari kondisi psikologis seperti ini timbul keinginan dan usaha dalam diri mereka untuk melakukan studi tentang Islam.[4]
Penulisan Hadits Dalam Perspektif Orientalis
(Ignaz Goldziher)
Di antara langkah-langkah para orientalis dalam mengahcurkan Islam adalah dalam hal agama, yaitu, dengan memutar balikkan fakta tentang Nabi Muhammad yang sangat berpengaruh terhadap umat Islam pada khususnya dan dunia pada umumnya, juga al-Quran dan sunnah Nabi atau hadits. Dalam makalah ini kami lebih cenderung kepada pembahasan tentang hadits, yaitu tentang penulisan hadits dalam persepektif orientalis. Salah satu faktor keraguan para orientalis terhadap keotentisitasan hadits dikarenakan adanya perbedaan antar al-Quran dan hadits dalam segi keterpeliharaannya, menurut Ignaz Goldziher[5] hadits sangatlah naïf keberadaannya ketimbang al-Quran yang memang telah mendapatkan jaminan akan keterpeliharaannya oleh Allah SWT,  sebagai mana firmannya dalam al-Quran Surat al-Hijr ayat Sembilan “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”. Sedangkan hadits menurutnya tidak mendapatkan jaminan dari Allah sehingga keeksistensian dan vadilitas hadits tidak benar, parahnya dia juga menganggap bahwa hadits merupakan hasil kreasi kaum muslim belakangan jauh setelah Nabi wafat, mengingat secara historis penulisan ataupun pengkodifikasiannya relatif sangat jauh dari masa hidup Nabi, yaitu pada abad ketiga Hijriah, 200-300 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.[6]
Adalah Muhammad Hamidullah, seorang sarjana muslim terkemuka yang mengkaji hadits-hadits yang ditulis oleh Hammam bin al-Munabbih (m. 719/101 H) yang manuskrip-manuskripnya ada di Damaskus dan Berlin. Menurut Muhammad Hamidullah, tulisan (koleksi) tentang hadits sudah tersebar sejak awal abad pertama Hijriah. Imam Bukhari mendapat hadits dari buku yang memuat koleksi hadits gurunya ‘Abd al-Razzaq, yaitu al-Musannaf. Abd al-Razzaq mendapatkan hadits-hadits tersebut dari yang memuat koleksi hadits gurunya, yaitu Ma’mar bin Rashid (m. 87/212 H), yang dikenal dengan al-Jami. Ma’mar bin Rashid adalah murid Hammam bin Munabbih, dan  Hammam bin Munabbih merupakan murid Abu Hurairah, (m 677/58 H) yaitu orang yang telah menghimpun hadits-hadits dari Rasullah SAW sekaligus orang yang paling banyak hafalan haditsnya. Jadi, sudah jelas bahwa bukti empiris yang berupa himpunan tulisan hadits telah tersedia pada abad pertama Hijriah dalam buku Hammam bin Munabbih. Tentunya pendapat ini telah membantah anggapan Goldziher bahwa menurutnya yang terjadi selama ini hanyalah permainan di balik layar yang kemudian disebut dengan back projection (periwayatan hadits palsu yang mengatas namakan Nabi Muhammad SAW).
Untuk menjaga keaslian hadits para sahabat, tabi’in dan seterusnya sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Para ulama telah mengklasifikasikan hadits dan menggolongkan dengan beberapa kategori hadits sesuai dengan sifat perawinya. Di antara kategori tersebut adalah kategori hadits dhaif, hadits mawdhu’, hadits mudallas,  hadits munqati’ dan lain-lain. Para ulama dalam bidang hadits juga telah mengembangkan ilmu-ilmu yang berpangkal pada sanad seperti rijal al-hadits, ilmu tabaqat al-ruwat, ilmu Tarikh Rijal al-Hadits, Ilmu Jarh wa al-Ta’dil dan ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan seperti Ilmu Gharaib al-Hadits, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Tawarikh al-Mutun, Ilmu Talfiq al-Hadits dan ilmu yang berpangkal pada sanad dan matan seperti Ilmu ‘Ilali al-Hadits.
Selain itu, dalam upaya untuk menjaga keeksistensian hadits,  para perawi hadits juga telah disaring untuk diterima riwayatnya dengan menggunakan metodologi unik yang telah dirangkum oleh para pakar hadits, yaitu sebuah hadits diterima jika rawinya atau orang yang merawikan hadits tersebut bersifat ‘adil,[7] sempurna ingatannya artinya kuat hafalannya, sanadnya tidak terputus, hadits itu tidak cacat (‘ilat) dan tidak janggal. Perlu kiranya untuk digaris bawahi, bahwa kebenaran suatu hadits bukan saja ditentukan oleh isi namun juga oleh ahlaq. Biarpun isinya benar, namun jika buruk ahlaqnya (orang yang merawikan hadits), maka periwayatan hadits tersebut akan ditolak. Memasukkan moralitas ke dalam struktur ilmu merupakan keunikan tersendiri dalam bangunan struktur keilmuan Islam. Jadi, dapat dikatakan juga bahwa kriteria yang ditetapkan oleh para ulama hadits sangat ketat.
Di samping itu, Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menunjukan beberapa faktor yang menjamin kemurnian hadits. Pertama, adanya ikatan emosional umat Islam untuk berpegang teguh kepada segala sesuatu yang datang dari Nabi. Kedua, adanya tradisi hafalan dalam proses transmisi hadits. Ketiga, sikap kehati-hatian para muhaddits dari masuknya hadits palsu, ditunjang sikap selektifitas para muhaddits dalam tradisi periwayatan. Keempat, terdapatnya beberapa manuskrip yang berisi tentang hadits-hadits. Kelima, adanya majlis-majlis ulama dalam tradisi transformasi hadits. Keenam, adanya ekspedisi ke berbagai wilayah untuk menyebarkan hadits. Dan ketujuh, sikap komitmen para muhaddits dalam meriwayatkan hadits dengan didukung keimanan dan jiwa religiusitas yang tinggi.[8]
Dalam buku Orientalisme dan Misionarisme (2007) juga membantah pendapat Goldziher tentang hadits, bahwa hadits menurutnya adalah secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada awal abad ketiga Hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Muhammad SAW sebab menrut Goldziher hukum-hukum syari’ah tidak dikenal kaum muslimin pada kurun pertama, sehingga para ulama besar Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui terhadap sejarah Rasulullah. Dia menukil tulisan Ad-Damiriy seorang Arab muslim dalam bukunya Hayatul Hayawan (dunia hewan) di mana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Hal yang sedemikian itu tentunya berangkat dari seorang yang sedikit penelaahnya terhadap sejarah. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal dikalangan umat Islam yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan dalam fiqihnya yang ssangat fenomenal dan buku-buku karangan para muridnya yang menyebarkan fahamnya seperi Abu Yusuf dan Muhammad.
Tanpa berprasangka kepada Abu Hanifah atas ketidak tahuannya terhadap sirah Nabi dan peperangan pada masa beliau, untuk menjawab itu, cukuplah kami (Hasan Abdul Rauf M. el-Badwiy dan Abdurrahman Ghirah) sebutkan dua kitab fiqih hasil karya murid-muridnya mengenai tema ini, yang dianggap sebagai kitab yang paling penting dalam penegakan syari’ah Islam, yaitu; Pertama, Buku bantahan terhadap Sirah Imam Al-Auza’il karangan Abu Yusuf. Kedua, Buku Sirah Kabir karangan Muhammad.
Dari kedua kitab ini, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah tentang sejarah peperangan Islam, baik pada masa Rasulullah maupun pada masa Khulafaurrasyidin yang juga menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya Imam Abu Hanifah. Dan kami yakin Goldziher juga mengetahui keberadaan dua kitab rujukan ini, yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Nabi. Bukan malah bersandar pada buku karangan Ad-Damiriy yang membahas tentang dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku tentang sejarah ataupun fiqih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya. Dia telah mebuat sebuah metodologi yang aneh dengan acuan yang sangat membingungkan demi mencapai tujuannya. Sungguh dia tidak ambil pusing terhadap apa yang telah disusun oleh Imam Abu Hanifah dari buku-buku ilmiah yang menjelaskan keluawasan wawasan dan ilmunya, sedang dia (Goldziher) sendiri bergantung pada riwayat yang dusta yang penulisnya bukan pula seorang sejarawan dan bukunya bukan sebuah buku sejarah atau fiqih. Hal itu ia lakukan demi menyokong pendapatnya yang batil dan salah kaprah, bahwa sunnah Nabi merupakan buatan para kaum muslimin di awal abad ketiga Hijriah.
 Seorang M.M.Azami, sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits dalam perspektif orintalisme, menyatakan bahwa ternyata tesis Goldziher tentang Ibn Syihab Al-Zuhri yang dipaksa oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (yang bermusuhan dengan Ibn Zubair) untuk membuat hadits, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat Al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah tujuh tahun dari wafatnya Ibn Zubair. Pada saat itu umur Al-Zuhri sekitar 10-18 tahun, sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya.[9]
Gagasan Goldziher yang menyatakan bahwa redaksi/matan hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadits sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadits disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya, hal itu mendapatkan bantahan yaitu, tuduhan Ignaz Goldziher terhadap perawi hadits sangat tidak beralasan, karena pada kenyataannya tradisi periwayatan hadits terbagi menjadi dua, yaitu periwayatan bi al-lafdzi dan periwayatan bi al-ma’na. Jenis periwayatan yang kedua yang telah disorot oleh Ignaz Goldziher dengan argumennya bahwa perawi hadits yang menggunakan tradisi periwayatan bi al-ma’na dicurigai telah meriwayatkan lafadz-lafadz yang dengan sengaja disembunyikan, sehingga redaksinya menjadi tidak akurat. Padahal, adanya tradisi periwayatan bi al-ma’na ini dikarenakan sahabat Nabi Muhammad Saw tidak ingat betul lafadz aslinya. Dan yang terpenting bagi sahabat Nabi adalah mengetahui isinya atau matan yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, tradisi ini tidak dikecam oleh Nabi Muhammad SAW, mengingat redaksi hadits bukanlah al-Qur’an yang tidak boleh diubah susunan bahasa dan maknanya, baik itu dengan mengganti lafadz-lafadz yang muradif (sinonim) yang tidak terlalu mempengaruhi isinya, berbeda dengan al-Qur’an sebab ia merupakan mu’jizat dari Allah yang tidak mungkin diubah.
Selain itu. Goldziher juga menyatakan bahwa jumlah hadits pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak daripada koleksi sebelumnya dan juga hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua. Dari itulah kemudian dia mengajukan pertanyaan; Bukankah ini menunjukkan bahwa keaslian hadits perlu dipertanyakan? Kemudian Dr. Ugi Suharto merespon hal tersebut, bahwa pengumpulan hadits secara besar-besaran terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan) mencari hadits. Dengan begitu maka hadits akan banyak yang berulang matannya karena bertambahnya isnad hadits tersebut. Dan juga dengan banyaknya sahabat muda dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan bahwa hadits yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos pada generasi tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah. Hadits yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, pada saat itu mulai keluar untuk menyelesaikan masalah hingga saat ini.
Penutup
Dari pemaparan di atas, sangat jelas bahwa para orientalis mempunyai antusias yang sangat besar untuk menghacurkan Islam. adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis yang sangat mengkritisi Islam dan tulisannya juga berbahaya. Serangannya terhadap penulisan hadits dengan sangat mudah dapat dibantah oleh kaum muslimin, karena memang serangan tersebut tidaklah benar dan menggunakan rujukan-rujukan yang tidak relefan guna menyokong pendapatnya, seperti yang telah kami contohkan di atas bahwa dia menyatakan redaksi/matan hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi hadits dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan pada aspek makna hadits sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima periwayatan hadits disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat perawinya. Pernyataan itu dengan mudah dibantah, bahwa tuduhan Goldziher sangatlah tidak beralasan,  karena pada kenyataannya tradisi periwayatan hadits terbagi menjadi dua, yaitu periwayatan bi al-lafdzi dan periwayatan bi al-ma’na.
Dan untuk menjaga kemurnian hadits para ulama dalam bidang hadits, telah mengembangkan ilmu-ilmu yang berpangkal pada sanad seperti rijal al-hadits, ilmu tabaqat al-ruwat, ilmu Tarikh Rijal al-Hadits, Ilmu Jarh wa al-Ta’dil dan ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan seperti Ilmu Gharaib al-Hadits, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Tawarikh al-Mutun, Ilmu Talfiq al-Hadits dan ilmu yang berpangkal pada sanad dan matan seperti Ilmu ‘Ilali al-Hadits. Semua itu dilakukan untuk mencegah munculnya hadits-hadits palsu yang dibuat oleh para orientalis, atau yang searah dengan mereka. Wallahua’lam

DAFTAR PUSTAKA
Akifahadi. Labib Syauqi, Tanggapan Sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalis, dalam internet websetw: http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 04 Januari 2011
Al-Khatib. Muhammad ‘Ajjad, 1989, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, Beirut:             Dar al-Fikr
Buchari. H.A.Mannan, 2006, Menyingkap Tabir Orientalisme, Jakarta: Amzah
El-Badawiy. Hasan Abdul Rauf M., Abdurrahman Ghira, 2007, Orientalisme dan Misionarisme, Menelikung Pola Pikir Umat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suryadi, 2001, Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadits Nabi, dalam ESESNISA Jurnal Ilmu-Ilmu al-Quran dan Hadits, Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kali Jaga


[1] Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy. Abdurrahman Ghira. Orientalisme dan Misionarisme, Menelikung Pola Pikir Umat Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal.3
[2] Yaitu ketika kaum Salibis Spanyol menyerang kaum muslim. Kala itu Alfons, raja Konstantinopel, memerintahkan seseorang yang bernama Michael Scott untuk melakukan penelitian terhadap disiplin ilmu-ilmu yang ada pada kaum muslim Andalusia. Segera Scott mengumpulkan beberapa orang pendeta yang direkrut dari bebrapa kampung dekat kota Thalitha guna memulai proyek penerjemahan dari buku-buku berbahasa Arab kedalam bahsa Prancis.  Setelah rampung, Scott menyerahkan salinan terjemahan tersebut kepada raja Sicilia untuk kemudian sang raja mengahdiahkannya kepada Unversitas Paris. Demikian juga pemimpin keuskupan Thalitha, Raymond Laol, melakukan hal yang sama, sangat bersemangat dalam proyek transliterasi karya-karya ulama Islam Andalusia.
[3] H.A. Mannan Buchari, Lc. Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006), hal.101-104
[4] Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy. Abdurrahman Ghira. Orientalisme dan Misionarisme, Menelikung Pola Pikir Umat Islam. hal, 13
[5] Dia adalah seorang orientalis lahir di Hungaria berkebangsaan Yahudi (1850- 1921) yang sangat kritis dan menolak akan keberadaan hadits, serta tulisan-tulisannya yang sangat berbahaya. Dia merupakan satu-satunya orientalis yang se,pat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Dia bukan hany aktif mengahadiri tallaqi dengan beberapa masyaikh di al-Azhar, bahkan dia pernah mengikuti shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. Bukan itu saja, dia juga termasuk seorang peneliti yang ikut andil dalam penyususnan ensiklopedi Dairatul Ma’ariful Uslamiyyah (Ruang Lingkup Pengetahuan KeIslaman). Banyak menulis serta mengomentari al-Quran dan hadits. Di anatar buku-buku yang ditulisnya berjudul Sejarah Madzhab-Madzhab Tafsir Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. (Hasan Abdul Rauf M. el-Badawiy. Abdurrahman Ghira. Orientalisme dan Misionarisme, Menelikung Pola Pikir Umat Islam. hal, 36)
[6] Suryadi, Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadits Nabi, dalam ESESNISA Jurnal Ilmu-Ilmu al-Quran dan Hadits, (Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadits IAIN Sunan Kali Jaga, 2001), hal. 95
[7] Yang dimaksudkan ‘adil yang harus dimiliki oleh seorang rawi, dalam pandangan Ibnu al-Sam’ani adalah selalu memelihara pwebuatan taat dan menjauhi maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun, tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman dan kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan serta tidak mengikuti pendapat salah-satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
[8] Muhammad ‘Ajjad al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hal:122
[9] Labib Syauqi Akifahadi, Tanggapan Sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalis, dalam internet websetw: http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 04 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar