Rabu, 16 Februari 2011

BUDAYA BAKAR KEMINYAN (Study Atas Desa Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura)

Telah menjadi hal yang tidak asing lagi ketika kita berhadapan dengan budaya atau tradisi kuno yang masih melekat di sekeliling kita. Hal itu dikarenakan masih adanya kepercayaan turun temurun yang masih aksis dilakukan oleh suatu kelompok dan keluarga. Seperti halnya budaya bakar keminyan yang masih aksis pada masyarakat Pakandangan Barat Bluto Sumenep dusun Jeruk pada khususnya, budaya bakar keminyan tersebut digunakan setiap acara-acara doa bersama seperti acara yasinan dan tahlilan. Budaya bakar keminyan ini memang telah mendarah daging pada masyarakat Pakandangan Barat Bluto Sumenep dusun Jeruk pada khususnya, karena budaya bakar keminyan ini merupakan budaya turun temurun yang diwarisi oleh nenek moyang mereka sehingga dari saking melekatnya budaya tersebut terdapat beberapa keluarga yang apabila menjadi tuan rumah pada acara yang bersifat do’a bersama akan merasa sangat janggal dan bahkan tidak akan memulai acara doa bersama tersebut jikalau tidak dimulai dengan membakar keminyan terlebih dahulu. Oleh sebab itu bisa dipastikan disetiap keluarga mempunyai yang namanya keminyan. Keminyan yang dimaksudkan penulis di sini adalah keminyan yang berbau harum.
Budaya bakar keminyan tersebut jika pada acara-acara doa bersama seperti yang telah penulis jelaskan di atas, dilakukan sebelum pemimpin memulai acara doa bersama dengan tuan rumah sebagai orang yang mempunyai acara tersebut membakar keminyan terlebih dahulu. Sebagaian masyarakat mempunyai anggapan bahwa hal itu adalah sebagai tanda bahwa acara akan dimulai sehingga orang yang masih ngobrol atau berdiri mengambil sikap diam dan duduk untuk segera mengikuti acara doa bersama tersebut, namun beberapa sebagian yang berkeyakinan bahwa keminyan yang dibakar adalah sebagai wadah dari doa yang mereka baca sehingga dengan keminyan tersebut dan juga ridha dari Allah SWT doa tersebut akan sampai pada tujuan yatu objek dari doa mereka, hal itu dikuatkan dengan cerita yang sangat dipercaya oleh sebagian masyaraka bahwa dahulu ketika masa nenek moyang mereka, ada beberapa orang dari bagian masyarakat tersebut yang menaiki perahu hendak menyebrangi lautan, tapi naas perahu tersebut berbalik dan mayoritas penumpangnya meninggal dunia kecuali seorang yang bisa berenang, dia hidup karena berenang ketepian yang ternyata adalah sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni, hidup di pulau kecil yang tidak berpenghuni bukanlah merupakan hal yang mudah karena tidak satupun orang yang bisa dimintai pertolongan. Selama kurang lebih dua bulan dia hidup di pulau tersebut. Satu bulan terakhir, sebelum akhirnya dia ditemukan oleh penumpang prahu yang lain, setiap malamnya dia selalu mencium aroma keminyan, padahal ketika di cari tahu asal keminyan tersebut dia tidak menemukan tanda-tanda adanya keminyan di bakar.
Cerita itu tidak berakhir sampai di situ, masyarakat Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura digemparkan oleh hadirnya orang yang terlantar tersebut di tengah-tengah mereka, di samping itu mereka juga merasa senang karena orang tersebut yang disangkanya telah meninggal dunia ternyata masih hidup dan dala keadaan sehat. Orang yang terlantar tersebut menceritakan pengalamannya selama di pulau kecil yang tidak berpenghuni tersebut termasuk mencium aroma keminyan setiap malamnya pada sebulan sebelum dia ditemukan oleh penumpang perahu yang kebetulan lewat. Dari cerita itulah ditemukan adanya kesamaan waktu antara tahlian yang digelar sebulan setelah dia menghilang karena dianggap teah meninggal oleh keluarganya dengan aroma keminyan yang dia cium sebulan setelah perahu yang ditumpanginya berbalik. Cerita ini merupakan alasan sebagaian masyarakat yang berkeyakinan bahwa keminyan sebagai wadah dari doa yang mereka baca.
Selain itu, budaya bakar keminyan juga tidak hanya dilakukan kepada acara doa bersama seperti yang telah dijelaskan di atas. Budaya akar keminyan yang terjadi pada masyaraka Pakandangan Baat Buo Sumenep dusun Jeruk pada khususnya juga dilakukan pada saat tradisi-tradisi yang bersidat sakral, seperti pada tradisi ‘Nyonson’, ‘Abha-Rebha’, dan tradisi ‘Kosaran’. Nama dari ke-tiga tradisi tersebut kami adopsi langsung dari bahasa Madura asli, tradisi tersebut rutin dilakukan oleh masyarakat Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura dusun Jeruk pada khususnya pada waktu-waktu tertentu.
Tradisi ‘Nyonson’ adalah tradisi membakar keminyan pada setiap malam jumat ba’dah maghrib oleh salah satu anggota keluarga dan menebar aroma keminyan pada setiap sudut rumah dengan sambil membacakan fatihah kepada anggota keluarga yang telah meningga dunia. Mereka melakukan hal itu karena mreka percaya bahwa setiap malam jumat arwah anggota keluarga yang sudah meninggal dunia pulang kerumah masing-masing, maksud mereka melakukan tradisi ‘nyonson’ agar supaya arwah keluarga yang sudah meninggal dunia kerasan dirumah mereka pada saat hidupnya, dan keluarga yang masih hidup mengharapkan kehadirannya nanti pada malam jumat yang mendatang. Oleh sebab itulah masyarakat selalu menjaga kebersihan rumah mereka terutama malam jumat dan yang paling di sorot kebersihannya yaitu di depan pintu, karena mereka juga yakin kalo’ arwah yang datang akan lewat pintu dari setiap rumah.
Tradisi ‘Abha-Rebha’ adalah tradisi syukuran atas nikmat yang telah Allah limpahkan kepada masyarakat Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura dusun Jeruk pada khususnya dengan cara saling mengantar makanan dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Namun pada umumnya masyarakat setempat mengantar makanan tersebut kepada keluarga orang yang dianggap tokoh oleh masyarakat Pakandangan barat Bluto Sumenep Madura dusun Jeruk pada khususnya, kemudian seorang dari eluarga yang mendapat kiriman makanan mendoakan sesuai dengan permintaan orang yang mengirim makanan. Doa tersebut harus dilakukan di dekat makanan sang pengirim dengan di awali membakar keminyan oleh orang yang membacakan doa, baru setelah ritual tersebut nasi dari sang pengirim boleh dimakan. Tradisi tersebut di laksanakan setiap malam Jumat Manis, dimuali dari sekita jam 16.30 WIB sampai matahari terbenam di ufuk barat.
Sedangkan tradisi ‘Kosaran’ yang terjadi pada masyarakat Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura dusun Jeruk pada khususnya merupakan tradisi membersihkan area pekuburan bersama-sama yang rutin laksanakan setiap tahun oleh masyarakat setempa, yaitu pada saat bulan puasa kurang 15 hari tradisi tersebut di lakukan dengan terlebih dahulu memberi tahukan sehari sebeumnya, biasanya dengan menggunakan pengeras suara yang terdapat di masjid-masjid dan mushalla. Hal itu dilakukan untuk mengingatkan masyarakat kalau keesokan harinya tradisi kosaran akan dilaksanakan. Tradisi kosan tersebut dilakukan untuk membersihkan area pekuburan, sehingga nantinya orang yang ingin menziarahi pekuburan keluarganya yang telah meninggal tidak mempunyai rasa malas karena kotor dan tidak terawat. Selain itu, agar si family dari orang yang meninggal tidak lupa pada tempat kuburan keluarganya, sehingga nantinya ketika mau berziarah mudah ditemukan karena sudah rapi dan bersih.
Setelah area pekuburan bersih, salah seorang yang dianggap sebagai sesepuh atau pemimpin akan membacakan doa supaya arwah yang ada dikubur tenang di sisi-Nya setelah sebelumnya diawali dengan pembakaran keminyan oleh salah satu seorang yang ikut serta pada tradisi kosara ntersebut. Setelah pembacaan doa usai, biasanya diisi dengan ngobrol sambil menunggu datangnya anggota keluarga dari masing-masing masyarakat yang mengikuti kosaran, yaitu ibu keluarga atau anak-anak mereka yang akan datang dengan membawa makanan, yang kemudian makanan tersebut akan dijadikan satu hidangan untuk dimakan bersama-sama. Pada saat itu masyarakat tersebut terlihat seperti satu keluarga besar yang mempunyai ikatan kekeluargaan yang sangat erat dan harmonis.
Merupakan suatu yang sulit sekali untuk merubah tradisi yang memang menjadi warisan nenek moyang, toh walaupun tradisi tersebut sedikit condong pada agama sebelumnya yang pernah datang pada nenek moyang kita, yaitu Hindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar