Secara garis besar pembagian hadits dibagi menjadi dua macam yaitu hadits sahih (hadits yang diterima) dan hadits dha’if (hadits yang ditolak). Tetapi para ahli hadits membagi hadits dalam tiga bagian yaitu hadits sahih, hasan, dan dha’if. Pembagian hadits itu mencakup banyak jenis, di antara jenis-jenis hadits tersebtu ada yang khusus untuk hadits sahih atau yang hasan ataupula yang dha’if. Selain itu ada juga yang dikelompokkan bersama antara yang sahih dengan yang hasan, dan bisa dikelompokkan bersama antara hadits yang sahih, hasan dan dha’if. Dari jenis-jenis itulah kemudian dibuat istilah, sebagian ulama hadits menamakannya ilmu tapi ada juga yang menamakannya jenis. Namun kami di sini hanya akan menjelaskan tentang beberapa pembagian hadits dha’if dilihat dari kriteri dan macam-macam hadits dha’if berdasarkan kecacatan periwayatnya. Di antaranya, Mudhtharib, muharraf, mushahhaf, mubham, majhul, mastur, syadz serta ‘illat. Sebelum kami membahas tentang beberapa pembagian hadits di atas tersebut, kami terlebih dahulu akan membahas mengenai hadits dha’if yang merupakan hadits yang menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Batasan hadits dha’if yang lebih tepatnya yaitu hadits yang pada hadits tersebut tidak terdapat cirri-ciri hadits sahih atau hadits hasan.
1. Mudltharrab
Hadits mudltharrab adalah hadits yang banyak periwayatnya. Jumlah riwayatnya yang banyak itu sederajat dan seimbang, tidak mungkin mengunggulkan salah satunya dengan cara apapun. Kedha’ifan dari hadits mudltharrab terletak pad perbedaan hafalan di antara para perawinya dan kekuatan ingatan mereka. Jikalau pertentangan hal tersebut tidak terjadi pada para perawi tersebut berarti salah satu dari perawinya mengungguli dari pada yang lain. Idlthirab (kekacauan, ketidak menentuan) biasanya terjadi pada sanad tapi terkadang keidltiraban tersebut juga terjadi pada matan, dan jarang sekali seorang ahli hadits menetapkan idlthirab tersebut terjadi pada matannya saja dengan tanpa sanad.
Contoh keidlthiraban yang terjadi pada sanad adalah hadits Abu Bakar, ia bertanya kepada Rasulullah SAW. “Ya Rasulullah, aku lihat anda berubah.” Rasulullah bersabda “surat Hut dan semisalnya telah membuatku berubah”. Menurut Ad-Daruquthni, hadits tersebut mudltharab, sebab tidak diriwayatkan kecuali dari jalur Abu Ishaq, dan diriwayatkan kira-kira dengan sepuluh cara yang berbeda. Ada yang meriwayatkannya secara muttasil (bersambung sanadnya). Ada yang menganggapnya dari musnad Abu Bakar, ada pula yang menganggapnya dari musnad Sa’ad dan adapula yang menganggapnya dari musnad Aisyah. Semua perawi tersebut tsiqah (terpercaya), dan tidak mungkin mengunggulkan yang satu atas yang lainnya.
Contoh idlthirab pada matan adalah hadits basmalah yang ditakhrijkan oleh imam Muslim dalam kitab Sahihnya dari riwayat al-Walid bin Muslim. Ia berkata: diceritakan kepadaku oleh al-Auza’i dari Qatabah, yang memberitakan dari Anas bin Malik yang berkata “Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka semua memulai dengan ‘alhamdulillahi rabbil-‘alamin’. Mereka tidak menyebut ‘Bismlillahirrahmanirrahim’ di permulaan bacaan dan tidak pula di akhirnya.” Kalimat terakhir yang disebutkan oleh perawi untuk meniadakan bacaan basmalah merupakan matan mudltharab dalam hadits ini. Karena, imam Muslim dan al-Bukhari sepakat mentakhrijkan riwayat lain mengenai topik yang sama tanpa menyebutkan basmalah -baik menetapkan ataupu meniadakan- melainkan hanya “mereka memulai bacaan dengan alhamdulillahi rabbil‘almin.” Selain itu idlthirab bisa juga masuk kedalam sebagian bentuk pada bagian shahih dan hasan, hal itu terjadi apabila ada sebuah perselisahan terhadap nasab perawi atau namanya atau nama ayahnya meskipun mereka termasuk dari perawi yang terpercaya, hadits yang tersebut kemudian dinamakan sebagai hadits mudltharab.
2. Mushahhaf dan Muharraf
Para kritikus hadits menaruh perhatian sangat besar terhadap pengetahuan tentang mushahhaf (salah ucap) dalam hadits, baik pada matan maupun isnadnya. Mereka menganggap pengetahuan ini sangatlah penting, sehingga mereka mengagungkan setiap orang yang ahli dalam pengetahuan ini, karena dengan pengetahuan tersebut bisa diketahui kekeliruan ulama dalam mengucapkan suatu hadits. Para kritikus hadits pada zaman dahulu tidak membedakan antara mushahhaf (salah ucap karena pengubahan huruf) dengan muharraf (salah ucap karena pengubahan harakat). Keduanya merupakan kekeliruan, sebab memang dikutip dari kitab (tuisan), tidak dinukil dari mendengar langsung dalam suatu tatap muka. Akibat kemiripan arti pada dua istilah tersebut imam al-Askari menjuduli kitab tentang pembatasan ini dengan Tashif dan Tahrif, Berikut Keterangan yang Terjadi Padanya. Kitab ini termasuk karya terbesar tentang salah ucap/baca al-Qur’an dan asSunnah di antara para ulama, dalam kitab itu diterangkan mengenai akan persamaan arti antara tashif dan tahrif, dia berkata “Aku beberkan dalam kitabku ini kata-kata dan nama-nama yang serupa bentuk tulisannya, sehingga menimbulkan tashif (salah ucap karena pengubahan huruf) dan tahrif (pengubahan harakat).” Di bagian lain dia juga berkata “pangkal permasalahannya adalah karena orang-orang awam menyerap ilmu dari kitab-kitab (tulisan) tanpa menanyakannya lagi kepada para ulama, sehingga terjadilah pengubahan periwayatan.”
Akan tetapi para hafidz (peghafal hadits) angkatan belakangan cenderung membedakan antara mushahhaf dan muharraf, meskipun perbedaan itu hanya dalam lafadl dan harakat saja. Ibnu Hajar misalnya, berpendapat bahwa apabila pengubahan itu terjadi pada huruf –yakni titik-titiknya berubah, sedangkan bentuk tulisannya tetap- dinamakan mushahhaf. Kalau pengubahan itu terjadi pada harkat, disebut muharraf. Contoh mushahhaf dalam istilah ini adalah hadits “barang siapa berpuasa ramadlan dan mengiringinya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal…” kata dalam hadits tersebut yang semula (enam hari), disalah ucapkan oleh Abu Bakar Ash-Shuli dengan (sedikit/satu-dua hari). Adapun contoh muharraf, dalam hadits Jabir “dalam perang Ahzab, Ubai terkena panah pada lengannya, kemudian Rasulullah SAW. mengobatinya dengan besi panas.” Kata (maksudnya Ubai bin Ka’ab) telah disalah ucapkan oleh Ghandar dengan (ayahku, ayah Jabir). Padahal, ayah Jabir telah meninggal dunia dalam perang Uhud, yang terjadi sebelum perang Azhab.
3. Mubham
Hadits mubham adalah hadits di mana dalam sanad atau matannya terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang tidak disebutkan namanya secara jelas dan meyakinkan, melainkan hanya disebut identitasnya secara umum. Hadits ini terbagi menjadi dua macam:
a. Mubham dalam sanadnya, yaitu di dalam sanadnya tidak disebutkan nama dari sebagian rawi-rawinya. Misalnya dikatakan “dari Sufyan, dari seorang laki-laki”
b. Mubham dalam matannya, yaitu dengan tidak menyebutkan nama sahabat yang terdapat dalam matan hadits tersebut, sebagai mana yang banyak dijumpai dalam hadits-hadits sahih dan lainnya yang di dalam matnnya disebutkan, “Bahwasanya seorang laki-laki bertemu dengan Nabi SAW.” atau “Bahwasanya seorang perempuan bertanya pada Nabi SAW”.
Hadits mubham ini apabila kemubhamannya terdapat dalam sanad dan tidak diketahui siapa sebenarnya yang mubham itu, maka hukumnya dha’if. Namun jika kemubhaman tersebut terdapat dalam matan, hal itu tidak membahayakan kedudukan hadits. Jadi bisa disimpulkan suatu hadits dikatakan mubham apabila nama perawinya tidak disebutkan, akan tetapi jika nama perawi tersebut disebutkan namun tidak jelas maka hadits tersebut dikatakan muhmal.
4. Majhul
Menurut para ahli hadits, hadits majhul terbagi dua macam, yaitu hadits majhul ‘ain dan majhul hal (majhul ‘adalah).
a. Majhul ‘Ain
Menurut al-Khatib, hadits majhul ‘ain adalah hadits yang apabila dalam sanadnya ada seorang rawi yang tidak meriwayatkan daripadanya dua orang rawi. Sedang menurut Ibnu al-Shalah dan Ibnu Hibban, yang dimaksudkan dengan hadits majhul ‘ain adalah hadits yang apabila dalam sanadnya ada seorang rawi yang tidak meriwayatkan daripadanya satu orang rawi.
Kemudian, apabila seorang rawi yang tidak meriwayatkan daripadanya itu telah diketahui hanya seorang rawi, atau telah jelas dua orang rawi, maka setatus majhul ‘ainnya menjadi hilang dan kembali menjadi marfu’ ‘ain. Meskipun demikian, menurut pendapat yang lebih sahih, tidak sekaligus menjadi adil, kecuali apabila dinyatakan adil secara tegas oleh para ulama. Misalnya rawi Jabbar al-Tha’i, dia adalah seorang rawi, namun tidak ada yang meriwayatkan daripadanya kecuali al-Suba’i, dan rawi Ibnu Kulaib, tidak ada orang yang meriwayatkan daripadanya kecuali Qatadah.
b. Mjahul Hal (Majhul ‘Adalah)
Majhul hal (majhul ‘adalah) yaitu seorang rawi yang tidak dikenal keadilannya, baik dhahir maupun bathin, dan tidakpula disebutkan tentang cacat dan terpercayanya. Rawi yang mempunyai catatan pribadi yang sedemikian itu, menurut imam al-Khatib dan imam al-Nawawi serta mayoritas ulama lain menyatakan bahwa riwayatnya tidak dapat diterima.
5. Mastur
Hadits mastur bisa disebut juga Majhul hal bathin atau ‘adil bhatin, yaitu seorang rawi yang telah menjadi marfu’ ‘ain oleh karena adanya riwayat satu orang atau lebih, sebagaimana tersebut di atas, dan rawi itu telah jelas cacat. Rawi yang telah memiliki catatan pribadi yang demikian tersebut, menurut kebanyakan ahli tahqiq hadits riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat ini dikuatkan oleh Sulaim bin Ayub al-Faqih dan sejalan pula dengan pendapat Ibnu al-Shalah.
6. Syadz
Pada dasarnya batasan syadz sangat sulit untuk ditentukan, namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam syadz, yaitu penyendirian dan perlawanan. Jadi hadits syadz -dengan bentuknya yang umum- ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya, berlawanan dengan riwayat orang-orang terpercaya yang lain. atau dengan kata lain hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dapat diterima, berlawanan dengan orang yang lebih utama daripadanya. Batasan tersebut dikemukakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar.
Imam Syafi’ie berkata “hadits syadz bukanlah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang terpercaya yang tidak diriwayatkan oleh orang lain. Melainkan adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang terpercaya yang berlawanan dengan riwayat banyak orang yang juga terpercaya”. Istilah ini banyak dikutip oleh ulama Hijaz. Ibnu Ktasir menarik kesimpulan bahwa apabila orang-orang yang terpercaya meriwayatkan suatu hadits yang tidak diriwayatkan oleh orang lain, maka bisa diterima asalkan ia orang yang adil dan kuat ingatannya. Ibnu Qayyim telah mengukuhkan istilah ini dengan redaksi yang pasti ”….. syudzudz ialah bila orang-orang yang terpercaya berbeda pendapat mengenai hadits yang mereka riwayatkan. Sedangkan kalau seorang yang terpercaya meriwayatkan suatau hadits yang menyendiri, sedangkan orang-orang terpercaya yang lain tidak meriwayatkan yang berlawanan dengannya, hadits ini tidak bisa disebut syadz, alasan ini tidak menyebabkan ditolak dan tidak ada alasan untuk itu.” Sedangkan al-Hakim berpendapat bahwa “Syadz ialah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh salah seorang perawi tsiqah (terpercaya) dan hadits itu tidak mempunyai mutabi’ (jalan lain) yang menguatkan perawi tsiqah tersebut.” Dalam definisi ini, al-Hakim mengemukakan batasan kesendirian dengan lafadz yang jelas.
Contoh hadits syadz adalah hadits yang diceritakan oleh Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Baluwaih yang berkata: “Diceritakan kepadaku oleh Musa bin Harun yang berkata: Dicerikan kepadaku oleh Qutaibah bin Sa’id yang berkata: Diceritakan kepadaku, oleh al-Laits bin Sa’ad, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abu Thufail dari Mu’adz bin Jabal bahwa ”Nabi SAW. ketika sedang berada di medan perang Tabuk, apabila beliau berangkat sebelum matahari condong, beliau melakukan shalat dzuhur dan menjamaknya dengan shalat asar. Apabila berangkatnya sesudah matahari condong, beliau melakukan shalat dzuhur dan asar sekaligus. Kemudian beliau berjalan. Apabila beliau berangkat sebelum maghrib, beliau mengakhirkan shalat maghrib dan mengerjakannya bersama shalat isya’. Jika beliau berangkat sesuadah maghrib, beliau menyegerakan isya’ dan mengerjakannya bersama shalat maghrib.”
Mengomentari contoh ini al-Hakim berkata “para perawi hadits ini adalah imam-imam yang terpercaya. Hdits ini syadz sanad dan matannya. Kami tidak mendapati ada illat pada hadits tersebut yang dapat kami terangka.” Kerumitan hadits syadz biasanya timbuul dari sulitnya menetapkan ketiadaan mutabi’. Barangkali kerumitan hadits syadz menjadi sebab utama adanya keyakinan bahwa al-Hakim menekankan kesendirian dalam batasan hadits syadz. Oleh sebab itu, Ibnu Shalah menganggap lemah pendapat al-Hakim dan menolaknya. Selain itu Abu Ya’al al-Khalili menuturkan batasan mengenai hadits syadz. Menurut mereka hadits syadz adalah hadits yang hanya mempunyai satu sanad, baik yang menyendiri itu perawi tsiqah atau tidak. Hadits yang diriwayatkan sendiri oleh perawi tsiqah masih diragukan dan tidak digunakan sebagai hujjah, sedangkan yang diriwayatkan sendirian oleh perawi yang tidak tsiqah sama sekali ditolak. Ibnu Shalah dan ulama lain menganggap pendapat ini adalah lemah, sebagai mana juga yang telah terjadi pada pendapat al-Hakim bahwa mereka juga menganggap lemah. Namun di antara dua pendapat itu ada perbedaan yang jelas. Kalau batasan al-Hakim masih mungkin dikembalikan kepada pendapat mayoritas ulama. Sedangkan al-Khalili tidak, sebab al-Khalili menganggap syadz sebagai penyendirian yang mutlak, tanpa memandang adanya perlawanan. Sementara itu, mayoritas ulama membatasinya dengan penyendirian perawi tsiqah dan perlawanan perawi-perawi tsiqah yang lainnya.
Dengan demikian, dalam hadits syadz harus ada unsur penyendirian dan perlawanan. Dengan adanya dua unsur yang menjadi syarat hadits syadz tersebut menghasilkan hadits yang berpredikat sahih tersingkir, sehingga hadits syadz dianggap menyandang sifat kedha’ifan yang murni.
7. ‘Illat
Al-Hakim dalam kitabnya “Ulumul Al-Hadits” telah membagi jenis-jenis ‘illat menjadi sepuluh macam, yang dinukil berikut contohnya oleh imam as-Suyuthi dalam karyanya ”Tadribu Ar-Rawi”, dengan kesimpulan bahwa suatu ‘illat terdapat terdapa pada sanad saja, atau pada matannya saja, atau pula terdapat pada keduanya:
a. Contoh ‘illat pada sanad: Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid At-Thanafisi, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW. “Kedua orang yang berjual-beli itu dapat melakukan ‘khiyar’…”,al-Hadits.
Keterangan: Sanad pada hadits ini adalah muttasil atau bersambung, diceritakan oleh orang yang ‘adil dari orang ‘adil pula, tapi sanadnya tidak shahih karena terdapat ‘illat di dalamnya. Sedangkan matannya sahih. Letak ‘illat hadits tersebut karena riwayat Ya’la bin Ubaid terdpat kesalahan pada Sufyan dengan mengatakan “Amru bin Dinar” padahal yang benar adalag “Abdullah bin Dinar”. Demikianlah yang diriwayatkan oleh para imam dan huffazh dari murid-murid Sufyan Ats-Tsauri seperti Abi Nua’im Al-Fadhl bin Dakin, Muhammad bin Yusuf Al-Firyabi, dan Makhlad bin Yazid. Mereka semua meriwayatkan dari Sufyan, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, bukan dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar.
b. Contoh ‘illat pada matan: Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya dari riwayat Al-Walid bin Muslim “telah bercerita kepada kami Al-Auza’i, dari Qatadah, bahwasanya dia pernah menulis surat memberitahukan kepadanya tentang Anas bin Malik yang telah bercerita kepadanya, dia berkata, ‘aku pernah shalat dibelakang Nabi, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan membaca: “alhamdulillahi rabbil ‘alamin‘” tidak menyebut: “bismillahirrahmanir-rahim” pada awal maupun pada akhir bacaan.’”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Al-Walid, dari Al-Auza’i, telah memberitahukan kepadaku Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah, bahwasanya dia mendengar Anas menyebut demikian.
Ibnu Ash-Shaleh dalam kitab “Ulumul Hadits” berkata, “Sebagian kaum mengatakan bahwa riwayat tersebut di atas (yang menafikan bacaan basmalah) terdapat ‘illat. Mereka berpendapat bahwa kebayakan riwayat tidak menyebut basmalah tapi membaca hamdalah dipermulaan bacaan, dan ini yang mutafaqun ‘alaihi menurut riwayat Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya. Mereka mengatakan bahwa lafadz tersebut adalah riwayat yang dipahaminya secara maknawi, yaitu lafadz yang artinya Mereka membuka bacaan shalat dengan membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah, maka meriwaytkan seperti apa yang dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah, karena makna dari hadits tersebut bahwa surat yang mereka baca adalah surat Al-Fatihah yang tidak disebutkan padanya basmalah.”
c. Contoh ‘illat pada sanad dan matan: Diriwayatkan Baqiyah dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW. bersabda, “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari shalat jum’at dan shalat lainnya maka telah mendapatkan shalatnya.” Abu Hatim Ar-Razi, berkata, “Hadits ini sanad dan matannya salah, yang benar adalah riwayat Az-Zuhri dari Abi salamah dari Abi Hurairah dari Nabi bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat maka ia telah mendapatkannya.” Sedangkan lafadz: “shalat jum’at” tidak ada dalam hadits ini. Dengan demikian terdapat ‘illat pada keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shalih. Subhi, 1995, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Jakrat: Pustaka Firdaus
Al-Maliki. Muhammad Alawi, 2009, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Al-Qaththan. Syaikh Manna’, 2005, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar