Rabu, 16 Februari 2011

TRADISI YASINAN DAN SOLIDARITAS MASYARAKAT TEGAL LEMPUYANGAN

(Studi Atas Kelompok Yasinan di Tegal Lempuyangan)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pertama yang membuat peneliti memilih untuk meneliti tradisi yasinan di Tegal Lempuyangan, khususnya pada suatu kelompok yasinan di Tegal Lempuyangan adalah, pada awalnya para pendatang yang datang ke daerah Tegal Lempuyangan mengadakan musyawarah dengan warga pribumi, mengenai pembangunan sarana ibadah, karena mayoritas beragama islam maka, tempat ibadah yang dimaksud adalah Masjid. Berawal dari sebuah mushola yang dibesarkan dan akhirnya menjadi masjid, sehingga tradisi budaya kumpul-kumpul musyawarah sampai saat ini dialih fungsikan sebagai tradisi kumpul-kumpul keagamaan yang codongnya ke religi yang berkembang seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pengetahuan masyarakat Tegal Lempuyangan akan pengetahuan agama islam, maka tradisi tersebut diadopsi sebagai tradisi yasianan yang brawal dari kumpul desa atau kumpul kampung yang bertujuan untuk mengeratkan tali persaudaraan masyarakat warga Tegal Lempuyangan .
Untuk itu saat dulu sebelum tradisi yasinan itu ada pada tradisi-tradisi sebelumnya, warga masyarakat Tegal Lempuyangan hanya punya tradisi kumpul desa yang bermusyawarah tentang hal yang berkaitan tentang tatanan masyarakat, pada akhirnya tradisi yasianan beralih fungsi menjadi yasianan yang fungsinya tak jauh beda dengan maksud dan tujuan awal yaitu untuk mempererat tali persaudaraan solidaritas antar muslim warga Tegal Lempu-yangan. Bahkan sekarang karena berkembangnya pengetahuan tentang agama islam pada masyarakat Tegal Lempuyangan tradisi yasinan tersebut telah difungsikan menjadi tradisi kirim doa ketika ada kerabat yang meninggal dunia, sebagai sukuran ketika warga Tegal Lempuyangan ada yang mengadakan kelahiran bayinya, mengadakan usia janinnya yang ketuju bulan dan lain sebagainya yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, jadi dengan niat awal untuk menjalin silaturahmi dan saat bermuyawarah tidak hannya asal kumpul saja, dengan adanya hal tersebut pertemuan atau tradisi yasianan semakin hari semakin bermakna, ini terbukti pelaksanaanya dari tahun-ketahun mengalami perkembangan yang condong ke ajaran-ajaran islam yang terdapat pada nas dan hadist, tidak heran jika ada tradisi-tradisi yang pada sebelumnya sudah ditiadakan karena sangat bertentangan dengan fiqih, untuk itu tradisi yasianan dan solidaritas masyarakat Tegal Lempuyangan ini sangat menarik untuk diteliti. Lain dari pada itu kami sebagai peneliti pun memdapat pelajaran yang berharga dari penelitian tersebut, contohnya mengadopsi tradisi yang lama menjadi tradisi yang mengandung nilai-nilai islam. Sebagai mahasiswa ushuluddin khususnya jurusan perbandingan agama, merasa telah menyumbangkan sesuatau untuk masyarakat Tegal Lempuyangan, dan secara tidak langsung telah menyumbangkan sesuatu untuk berkembangnya agama islam dalam hal mendekatkan diri kepada tuhannya. Bukankah ini akan menjadi penambah referensi para mahasiswa yang akan datang atau bagi generasi penerus?
Dengan ini sebagai tim penyusun dan tim penelitian sangat bersemangat sekali dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun tentunnya, untuk kemajuan tim dan fakultas agar dalam pelaksanaan yang akan datang bisa lebih baik dari penelitian-penelitian sebelumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah kami paparkan di atas dan untuk lebih memperjelas arah penelitian kami, maka perlu adanya rumusan masalah. Dalam hal ini peneliti mengambil tiga perumusan, yaitu:
1. Bagaimana sejarah yasinan di masyarakat Tegal Lempuyangan?
2. Bagaimana pelaksanaan yasinan di masyarakat Tegal Lempuyangan?
3. Bagaimana pengaruh yasinan terhadap solidaritas masyarakat Tegal Lem-puyangan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan peneliti, meneliti tradisi yasinan dan solidaritas masyarakat Tegal Lempuyangan adalah untuk mengetahui, yaitu :
1. Sejarah yasinan di masyarakat Tegal Lempuyangan
2. Pelaksanaan yasinan di masyarakat Tegal Lempuyangan
3. Pengaruh yasinan terhadap solidaritas masyarakat Tegal Lempuyangan
D. Manfaat Penelitian
Semua yang tercipta di dunia ini pasti mempunyai manfaat, begitu pula dengan penelitian yang kami lakukan tentang tradisi yasinan dan solidaritas masyrakat Tegal Lempuyangan, di antaranya yaitu :
1. Bagi pemerintah
Manfaat penelitian ini bagi pemerintah adalah mengingat adanya kelompok-kelompok yasinan di berbagai kalangan masyarakat yang semakin aksis, tidak ada salahnya pemerintah untuk membuat instansi yasinan yang lebih umum. Artinya instansi tersebut dihadiri dari berbagai kalangan masyarakat. Sehingga silaturrahmi antar muslim semakin melebar.
2. Bagi instansi pendidikan
Manfaat penelitian ini bagi instansi pendidikan adalah sebagai bahan bacaan dan tambahan wawasan bagi mahasiswa pada khususnya, dan terhadap para pembaca yang budiman pada umumnya. Selain itu juga sebagai bahan pemberitahuan dan motivasi bagi instansi pendidikan untuk mendidik anak didiknya dengan hal yang berbau agama, seperti lebih memperhatikan kefasihan anak didiknya dalam membaca al-Quran pada umumnya, mengingat di antara tujuan tradisi yainan adalah memberi pengajaran terhadap masyarakat dalam hal kefasihan membaca surat yasin.
3. Bagi masyarakat
Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah agar masyarakat lebih giat dan serius dalam ikut andil melaksanakan tradisi yainan, dan juga sebagai bahan agar masyarakat lebih memahami makna sebanarnya diadakannya tradisi yasinan sehingga masyarakat mengetahui pentingnya tradisi yasinan.
4. Bagi peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah kami sebagai pemuda yang merupakan kader bangsa dan agama, untuk tetap menjaga keaksisan tradisi yasinan di daerah kita masing-masing pada khususnya dan orang muslim (yang melaksanakan tradisi yasinan) pada umumnya. Mengingat tradisi yasinan juga digunakan sebagai sarana silaturrhmi atara muslim. Selain itu penelitian ini juga membantu peneliti mengetahui perkembangan tradisi yainan dari tahun ke tahun.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang peneliti lakukan, tinjauan yang peneliti gunakan adalah observasi dan kepustakaan dengan menganalisis data-data yang ditemukan dan diolah dengan kemampuan peneliti, dengan metode-metode antara lain yaitu metode interview yaitu dengan mewawancarai penduduk setempat yang sangat berperan di kalangan masyarakat Tegal Lempuyangan. Adapun data-data yang telah diperoleh antara lain :
Hasil penelitian yang serupa dengan penelitian yang dilakuka oleh peneliti, yaitu pada penelitian yang telah diteliti oleh senior sebelumnya yaitu pada sekripsi Tradisi yasianan dalam masyarakat Pambusuan kecamatan Balanipa kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, oleh Abd. Mubarak .dari kesimpulan sekripsi tersebut dapat dikeahu bahwa peran yasianan untuk mengharap kesembuhan bagi yang mengalami sakit berkepanjangan.
F. Kerangka Teori
Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pendapat ulama
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadist yang menyebutkan tentang keutamaan membaca surat yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.
2. Pandangan islam tentang yasinan
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Allah SWT. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.
3. Sebagai bentuk dakwah kultural,
Yasinan bisa saja ditinggalkan apabila masyarakat Indonesia telah memiliki tingkat keimanan yang tinggi sehingga masjid akan terisi pada saat 5 waktu khususnya waktu Isya dan Subuh, dan seusai sholat semua jamaah akan khusyu berdzikir kepada Allah dan setiap keluarga telah mengaji selepas magrib dan bukannya menonton TV. Bila semua keluarga mengamalkan amalan para sahabat yang mampu mengkhatamkan Al-Qur’an pada masa 3-30 hari, maka Yasinan sudah menjadi tidak penting dan dapat ditinggalkan.
Namun bila masyarakat semakin terbuai oleh teknologi TV, Internet, HP dan kesibukan pekerjaan, maka upaya mengingatkan masyarakat agar tetap mencintai al qur’an, perlu dan harus dilakukan. Hal ini sejalan dengan kaidah Ushul Fiqh,yakni Mencegah mudhorot (lalai membaca Al-Qur'an dan Dzikir) didahulukan ketimbang mengejar manfaat (bahwa yasinan tidak ada pada zaman Nabi). Tentu banyak cara membuat masyarakat cinta pada Al-Qur’an (membaca Al-Qur’an), dan di antaranya bagi kalangan pesantren adalah dengan tradisi yasinan.
G. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini pengumpulan data yang kami gunakan adalah dengan jenis wawancara ke lapangan, dalam rangka mendapatkan referensi yang konkrit. Sedangkan jenis datanya adalah bercorak kualitatif, yaitu dengan menggunkan metode wawancara atau interview kepada subjeknya yaitu masyarakat Tegal Lempuyangan, baik itu dari kalangan pemuda atau orang tua, laki-laki atau perempuan. Sehingga dari berbagai sumber data tersebut nanti peneliti bisa menarik sebuah simpulan.
Ada beberapa sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subtek penelitian dengan menggunakan alat pengambil data langsung, subyek sebagai sumber informasi yang dibutuhkan seperti wawancara masyarakat Tegal Lempuyangan, baik itu dari kalangan pemuda atau orang tua, laki-laki atau perempuan.
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung untuk mendukung penulisan pada penelitian ini melalui tulisan-tulisan karya ilmiyah dari berbagai media, ataupun buku-buku yang menerangkan tentang yasinan.




BAB II
SEJARAH YASINAN DI MASYARAKAT TEGAL LEMPUYANGAN
Yasinan hanya dikenal di Indonesia dan Malaysia. Tradisi ini merupakan bentuk ijtihad para ulama untuk mensyiarkan Islam dengan jalan mengajak masyarakat agraris yang penuh mistis dan animisme untuk mendekatkan diri pada ajaran Islam melalui cinta membaca Al Qur’an, salah satunya Surat Yasin sehingga disebut sebagai Yasinan. Kat yasinan sendiri berasal dari kata yasin yang berasal dari salah stu ayat al-Qur’an,dengan penambahan imbuhan-an menjadi Kata yang disebut yasinan yang mempunyai makna suatu kegiatan membaca surah yasin yang mempunyai maksud tertentu. Pada mulanya, yasinan disini adalah bentuk peng-adopsian dari adat-adat budaya kejawen atau adat budaya jawa, seperti contoh, kenduri yaitu sebuah hajatan yang dalam bentuk mensyukuri rezeki yang diterimanya atas hasil kerja jerih payahnya. Kenduri ini juga di dalamnya membaca bacaan-bacaan yang berbau islam, seperti tahlil. Padahal, setiap warga yang hadir dalam acara Kenduri tersebut tidak hanya warga yang beragama islam, melainkan warga yang beragama non islam juga. Yang mengawali adanya yasinan di lempuyangan adalah nenek moyang pada tahun 1955-1956. Sedangkan orang lempuyangan sendiri di dominasi oleh para pendatang yang kerja di PT KAI yang kemudian menetap di Tegal Lempuyangan . Kemudian dengan menetapnya para pendatang di sana, mereka mengadakan tempat ibadah, seperti tempat shalat. Dan meeka mengadakan yasinan, di awalnya dari adanya yasinan.
Begitu pula dengan tradisi yasinan yang terjadi pada masyarakat Tegal Lempuyangan . Tradisi yasinan di daerah tersebut seperti yang telah dijelaskan di atas yaitu berawal dari adanya kenduri yang merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka. Adanya tradisi yasinan pada masyarakat Tegal Lempuyangan yaitu kurang lebih pada tahun 1955-1956 M, yaitu di dahului dengan adanya musyawarah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh islam masyarakat Tegal Lempuyangan dan juga orang muslim pada saat itu, dengan tujuan untuk lebih mengkhususkan kepada kalangan muslim, dan juga sebagai wadah untuk menjalin silaturrahim antara sesama muslim itu sendiri. Selain itu tradisi yasinan pada masyarakat Tegal Lempuyangan juga bertujuan untuk mendoakan orang tua dan keluarga mereka dan sebagai pengajaran dalam membaca yasin secara fasih bagi orang yang ikut andil terhadap berjalannya tradisi yasinan tersebut.
Sedangkan tujuan dari acara Yasinan itu sendiri adalah, sebagai majelis taklim dan dzikir, forum silaturrahmi warga, sebagai media syukuran (syukuran nkmat) dari keluarga yang mendapatkan nikmat dari Allah SWT, dan juga terkadang dalam acara yasinan tersebut ada arisan kecil-kecilam sebagai sarana menabung, serta sebagai media sedekah berupa hidangan alakadarnya dari tuan rumah atau perorangan.
Namun terkadang ada kalanya yang menanyakan mengapa harus surat yasin yang selalu di baca? Dalam hal ini ada beberapa pendapat yang memberi tanggapan, yaitu :
1. Surat Yasin lebih akrab di tengah masyarakat karena biasa dibaca pada saat ada orang yang hendak meninggal atau telah meninggal. Sehingga surat Yaasiin lebih mudah dihafal dan lebih lancar pembacaannya sehingga lebih besar kemungkinan untuk terhindar dari kesalahan dalam membaca.
2. Surat Yasin memiliki fadhilah (keutamaan) bagi yang membacanya. Meskipun oleh sebagian golongan dinyatakan bahwa bahwa hadits yang menyatakan fadhilah Yasin adalah Dhoif dan bahkan palsu, namun masih ada hadits yang menerangkan tentang derajat surat Yasin telah mencapai derajat Hasan Lidzaatih, yakni : Hadits itu adalah hadits dari Jundab bin Abdullah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca yasin pada suatu malam hanya dengan mengharap Wajah Allah, maka dia akan diampuni.”
3. Adanya hadits riwayat Nasa'i bersumber dari Ma'qal bin Yasar al-Muzan mengatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Surat Yasin adalah jantung Al-Qur'an. Siapa saja yang membacanya semata-mata karena Allah dan berharap kebahagiaan akhirat maka ia akan diampuni. Maka bacakanlah Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.
Jadi Rasulullah memang menganjurkan orang muslim untuk membaca surat yasin kepada orang sedang sekarat, selain itu kandungan hadits tersebut adalah membaca yasin setiap ada masalah, atau setiap waktu untuk mencegah dari masalah.






















BAB III
PELAKSANAAN YASINAN DI MASYARAKAT TEGAL LEMPUYANGAN
Acara yasinan ini diadakan oleh seorang warga yang mempunyai hajatan dengan mendatangkan beberapa orang tetangganya untuk ikut serta membaca surat yasin pada acara tersebut. Pada awalnya, acara yasinan disini diadakan hanya ketika ada seorang warga yang mempunyai hajat. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, acara yasinan disini diadakan rutin tiap malam pon. Yang mempunyai misi untuk menjelaskan maksud-maksud dari kandungan fiqih, akidah ahlak, dan ilmu-ilmu lainnya yang mungkin barang kali terdengar awam ditelingan sebagian warga masyarakat Tegal Lempuyangan Yogyakarta, lalu sebagai acara rutin yang dapat memperkuat tali silaturahmi dan solidaritas para jamaah dari acara tersebut, dan sebagai pembelajaran makharijul khuruf bagi para jama’ah.
Pelaksanaannya di awali dengan pembukaan oleh pemimpin dan dilanjutkan dengan membaca surat-surat pendek yang terdapat pada buku yasin yang biasa dibawa oleh jama’ah, lalu surat demi surat dibacakan sesuai dengan yang ada pada buku teersebut, pemimpin doa yang memimpin berjalannya acar atersebut, mengawali bacaan yasin dengan ta’awudz dan membaca basmalah dan membaca surat yasin tersebut bersama-sama sampai selesai, setelah selsai membaca surah yasin dilanjutkan dengan berzikir dan mendoakan sesuai permintaan sang tuan rumah yang memiliki hajat tersebut, ada yang sukuran, karena kelahiran sang bayi, ada yang mengirim doa untuk kepergian skerabatnnya, ada yang mengatkan yasinan ini ada yang menyebut bid’ah karena alasan dengan diadopsinya budaya hindu budha yang dijadikan tradisi islam yang sering disebut 1hari, 2hari dan seribu hari meninggalnya seseorang dengan diselimuti acara yasinan tersebut, untuk itu karena banyak hal yang bisa di isi denganacara yasinan tersebut maka dengan demikian pelaksanaannya pun jadi beragam dan mempunyai cirikhas tersendiri. Dalam pelaksanaannya pun tergantung prmintaan sang tuan rumah dari awal pelaksanaannya sampai berakhirnya acara teersebut, akantetapi tidak lepas dari persetujuan penduduk dan pemuka agama tentunnya karena tidak boleh permintaan tuan rumah itu mengalahkan tradisi yang sudah berjalan sangat lama ini. Untuk itu pad intinya acara yasinan pelaksaannya yang berada oada daerah Yogyakarta khususnya kawasan Tegal Lempuyangan tidak jauh beda dengan di daerah-daerah lain di luar Tegal Lempuyangan untuk itu sebaagai muslim yang telah memiliki penggangan Al-Qur’an dan Hadits tentunnya tidak mempermasalhkan hyal yang sedemikian rupa asalkan tidak bertentangan dengan dasar islam yang telah ddisebitkan tersebut.
Sampai saat ini acara tradisi yasinan masih berjalan sesuai dengan keadaan ekonomi, mungkin sajian dan makannya disesuaikan dengan keuangan sang tuan ruamah, atau dengan yang punya hajat, dan selera lidah warga setempat dan lain seebainya yang perkembangannya selalu berubah-ubah sesuai dengan berkembangnya pengetahuan ilmu agama, budaya serta ilmu-ilmu lainnya yang dapat mempengaruhi perkembangan berjalannya acara yasinan tersebut. Maka darisinilah para peneliti dapat tahu bagai mana berjalannya pelaksanaan yasinan tersebut dari dulu hingga saat ini. Mungkin dengan meninjau dan mengira-ngira peleaksaannya yang sebelumnya dapat mengetahui secara jelas bagaimana pelaksanaannya yang akan berjalan sesuai berjalannya waktu. Contohnya jika rumah sang tuan rumah terlalu sempit dam tidak cukup untuk tempat prat jama’ah, maka tempatnya bisa diganti di masjid atau diserambi masjid yang dapat dijadikan tempat unttuk berkumpul dan membacakan surat yasin tersebut dan tidak lupa untuk menikmati sajian makanan yang sengaja telah disediakan oleh tuan rumah atau sang pemilik hajat yang bersangkutan, ssehingga sebagai acar yang telah menjadi tradisi yang sudah sangat dikenal tidak ada alasan untuk tidak ikut dan ttidak melaksanankan tradisi yang kirannya sudah menjadi cirri dari masyarakat Tegal Lempuyangan .
Semoga dari pembahasan diatas bias menjadi motivasi bagi kita untuk seanantiasa menjadikan kebiasaan yang baik menjadi sebuah tradisi yang dapat menjadi contoh bagi orang lain yang melihatnya.


































BAB IV
PENGARUH YASINAN TERHADAP
SOLIDARITAS MASYARAKAT TEGAL LEMPUYANGAN
Pengaruh yasinan terhadap solidaritas masyarakat lempuyangan, sebenarnya terletak pada pelaksanaannya dan system kepercayaan mereka yang sudah dirancang sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Untuk itu sebagai warga yang senantiasa melaksanakan ibadah sudah menjadi kebutuhan sosial masyarakat Tegal Lempuyangan untuk bersosialisasi atau yang disebut bergaul dengan orang-orang lingkungan sekitarnnya. Contohnya saat para jama’ah sholat magrib masjid Tegal Lempuyangan Yogyarta, saat mereka sehabis shalat dan berdoa lalu mereka saat pulang saling brsalam-salaman yang mana itu dilakukan mengandung nilai solidaritas yang tinggi kadang kala menanyakan bagaimana dengan ibadah yang telah dilakukan selama satu hari ini atau selama seminggu ini, hal ini sengaja dilakukan untuk memperkuat rasa persaudaraan mereka dan untuk mengintropeksi diri apa saja tindakan kita selama satuhari yang telah habis dengan tanda sudah menjalankan sholat magrib. Gambaran di atas memberikan gambaran sedikit tentang pengaruh yasinan terhadap solidaritas masyarakat warga Tegal Lempuyangan. Hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Mulai dari persiapannya zaman dulu sebelum ada resttoran, rumah makan dan catering para kaum perempuan dan laki-laki saling gotong royong untuk membuatkan masakan yang telah dibiyayai oleh tuan rumah yang memiliki hajat tersebut, akan tetapi budaya gotongroyong ini adalah pruduk budaya yang telah diwarisi sebelumnya oleh para nenek moyang. Untuk itu pada peristirwa di atas acara yasinan sanangat berpengaruh terhadap solidaritas warga masyarakat Tegal Lempuyangan yogyakarata, karena saling membantu satu sama lain dengan demikian sebagai tuan rumah pasti memilki rasa suatu saat nanti jika ada acara serupa setiap warga akan mempunyai rasa balas budi untuk membalas jasa para warga lainnya yang telah membantu berjalannya acara tersebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh tuan rumah dan tamu. Selain itu bukan hanya konsep sosialisasi dankonsep gotongroyong dan balasbudi yang mempengaruhi sikap solidaritas warga masyarakat Tegal Lempuyangan . Konsep theology dan filsafat yang terdapat pada yasinan pun turut serta dalam pembentukan mental solidaritas mereka, bagi peneliti konsep filsafat yang dimaksud adalah konsep falsafah jawa yang selama ini dikenal oleh masyarakat jawa pada umumnya dan masyarakat Tegal Lempuyangan pada khususnya, yang selalu menjunjung tinggi tradisi-tradisi nenek moyang yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan sebagai cucu yang tinggal di kawasan daerah yang mereka singgahi, mungkin konsep filsafat seperti ini sering dijumpai disetiap daerah-daerah jawa dan sekitarnya, dan menjadi alasan yang tepat untuk menjawab pengaruh yasinan terhadap solidaritas masyarakat Tegal Lempuyangan . Pengaruh dari konsep theology ialah, masyarakat percaya bahwa dosa mereka terhadap sesama manusia itu dapat tertutupu dengan amalan-amalan yang baik yang dilakukan selama hidup dibumi dengan bertindak sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadits untuk saling tolong menolong sesama manusia apalagi sesama umat muslim, supaya dapat mempersatukan umat muslim seutuhnya dan menghindari pertikayan antara warga masyarakat Tegal Lelmpuyangan muslim dengan non muslim dan dengan muslim sendiri. Contohnya pada sunnah yang telah dianjurkan oleh islam atau dalam islam kita dianjurkan untuk bersilturahmi dan saling tolong menolong sesame warga yang terdekat karena saat kita kesusahan maka yang dapat membantu kita tentunya adalah warga sekitar yang dapat membantu kita lebih dulu bukan saudara-saudara kita yang jauh disana yang baru akan membantu kita saat beritanya sampai dan melalui perjalanan yang penjang menuju rumah sang korban.
Cukup jelas dengan pembahasan yang terdapat diatas sebagai mana mestinnya penulis selallu beranggapan bahwa awal mulannya budaya ini dapat mempengaruhi sikap masyarakat Tegal Lempuyangan , karena pada sebelumnya budaya yang semacam ini sudah ada namun belum ada konsep theology dan filsafat yang dapat membuat budaya tersebut sampai saat in dapat menjadi produk yang dapat ditiru dan dijadikan contoh yang baik bagi masyarakat yang lainnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah yasinan di masyarakat Tegal Lempuyangan adalah berawal dari adanya kenduri yang merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka. Adanya tradisi yasinan pada masyarakat Tegal Lempuyangan kurang lebih pada tahun 1955-1956 M, yaitu di dahului dengan adanya musyawarah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh islam masyarakat Tegal Lempuyangan dan juga orang muslim pada saat itu, dengan tujuan untuk lebih mengkhususkan kepada kalangan muslim, dan juga sebagai wadah untuk menjalin silaturrahim antara sesama muslim itu sendiri.
Pelaksanaan yasinan di masyarakat Tegal Lempuyangan di awali dengan pembukaan oleh pemimpin dan dilanjutkan dengan membaca surat-surat pendek yang terdapat pada buku yasin yang biasa dibawa oleh jama’ah, lalu surat demi surat dibacakan sesuai dengan yang ada pada buku teersebut, pemimpin doa yang memimpin berjalannya acar atersebut, mengawali bacaan yasin dengan ta’awudz dan membaca basmalah dan membaca surat yasin tersebut bersama-sama sampai selesai, setelah selsai membaca surah yasin dilanjutkan dengan berzikir dan mendoakan sesuai permintaan sang tuan rumah yang memiliki hajat tersebut, ada yang sukuran, karena kelahiran sang bayi, ada yang mengirim doa untuk kepergian skerabatnnya.
Pengaruh yasinan terhadap solidaritas masyarakat Tegal Lempuyangan itu sendiri adalah adanya sosialisasi, gotongroyong, dan rasa balasbudi sesame muslim pada umumnya dan orang yang hadir dalam yasinan pada khususnya. Selain itu tradis yasinan tersebut melahirkan konsep theology dan filsafat yang berpengaruh terhadap solidaritas yang mempengaruhi sikap solidaritas masyarakat Tegal lempuyangan.


B. Saran-saran
Dengan berakhirnya kesimpulan yang peneliti susun, maka peneliti menyarankan kepada pembaca yang budiman pada umumnya untuk lebih serius dalam ikut andil melaksanakan tradisi yasinan, mengingat dari tujuan yasinan itu sangatlah baik tujuannya.




RABI’AH AL-ADAWIYAH

Sosok Rabi’ah al-Adawiyah termasuk dalam golongan wanita sufi pilihan yang mengungguli hampir semua tokoh sufi sezamannya dalam menempuh jalan menuju sang Kholiq. Jika seseorang hendak mengutip nama-nama sebagian wali sufi besar dari periode awal Islam hingga sekarang ini, maka tak pelak lagi nama Rabi’ah pasti termasuk di dalamnya. Bahwa keunggulan ketakwaan, ma’rifat, dan kezuhudan Rabi’ah al-Adawiyah telah menjadikannya sebagai simbol kewalian dikalangan kaum sufi wanita cukup melukiskan kedudukannya yang tak tertandingi. Kesempurnaan dan berbagai keutamaan jiwanya (fadla’il nafsani) berkembang jauh melampaui kebanyakan wali sufi kurun waktu terkemudian, yang menjadikannya terkenal sebagai “Mahkota Kaum Pria”.
Perjalanan hidup Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah bin Isma’il al-Adawiyah al_Qisysyiyah atau yang lebih kita kenal dengan sebutuan Rabi’ah al-Adawiyah adalah termasuk dalam golongan wanita sufi pilihan yang mengungguli hampir semua tokoh sezamannya dalam menempuh jalan menuju Sang Kholik. Beliau lahir pada malam hari di sebuah gubuk yang tidak ada penerangan apapun, tepatnya di kota Basrah dan diperkirakan pada tehun 95 H./713 M.1 beliau berasal dari kelurga yang miskin, diceritakan dalam sebuah literatur karya Fariduddin al-Attar (w.627 H) dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah karangan Sururin, Ag. bahwa pada malam kelahiran Rabi’ah tidak terdapat suatu barang berharga yang didapat dalam rumah Isma’il, ayah Rabi’ah. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar putrinya, apalagi minyak untuk lampu penerang. Rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kainpun yang dapat digunakan untuk menyelimuti bayi yang baru lahir. Istrinya minta agar Isma’il pergi kepada tetangga untuk meminta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi Isma’il telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatupun dari manusia lain, sehingga ia pura-pura menyentuh rumah tetangganya, lalu kemabali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur hingga tidak membukakan pintu.
Pada waktu kecil Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya, Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Hanya saja beliau terlihat sangat lain dengan teman sebaya menyangkut kerja otaknya, beliau kelihatan cerdik dan lincah dibandingkan dengan yang lain. Pada diri beliau juga tampak pancaran sinar ketaqwaan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya. Perbedaan tersebut sedikit jelas telah menunjukkan bahwa kesufian seorang Rabi’ah al-Adawiyah sudah tampak ketika beliau masih kecil.
Masa-masa remaja, merupakan masa-masa yang dinantikan dan terindah oleh anak manusia pada umumnya, ternyata tidak bagi seorang Rabi’ah al-Adawiyah. Sebagai seorang yang zuhud beliau tidak lagi memikirkan hal itu. Malah sebaliknya pada masa itu beliau ditinggal ayahnya yang kemudian disusul oleh ibunya. Kepergian orang tuanya merupakan ujian bagi Rabi’ah karena sang ayah merupakan tulang punggung keluarga. Betapapun cobaan yang dihadapi, Rabi’ah tetap tidak kehilangan pedoman, sepanjang siang dan malam beliau selalu bedzikir dan tafakkur kepada Allah SWT.
Bencana yang menimpa kota basrah berupa kemarau panjang dan kekeringan membuat beliau terpisah dari saudaranya dan jatuh ketangan peranpok yang kemudian dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang sangat murah sekali sekecil enam dirham. Menjadi budak dari seorang yang kejam, hingga dimerdekakan oleh tuannya yang kejam karena telah melihat sesuatu yang menakjubkan pada diri Robi’ah al-Adawiyah, yaitu pada suatu malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan. Dari celah-celah kamar ia mengintip apa yang dilakukan Rabi’ah, ia tertegun melihat Rabi’ah bersujud di tanah seraya berdo’a, “Oh Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa hatiku selalu mendambakan Engkau dan benar-benar tunduk pada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi kepada kerajaan-Mu, jika itu terserah kepada-Mu, aku tak akan berhenti menyembah-Mu, walau barang sesaatpun. Namun, Engkau telah membuatku tunduk kepada seorang mahluk, karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu” 2
Dengan mata kepalanya sendiri dia melihat sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Robi’ah al-Adawiyah, sedang cahayanya menerangi seluruh rumah. Demi melihat itu semua sang tuan kembali ke kamar tidurnya dan merenung sampai fajar menyingsing. Pagi itu juga tuannya memanggil Robi’ah al-Adawiyah dengan lembut dan berkata bahwa dia membebaskan Robi’ah. Tuannya juga menawarkan apakah Rabi’ah mau tinggal bersama tuannya atau pergi, tapi pilihan Robi’ah adalah pergi. Dalam perjalanan selanjutnya dunia sufi telah mantap menjadi pilihan Robi’ah hingga ajalnya tiba, ia selalu melakukan shalat tahajud sepanjang malam hingga fajar tiba. Abdah, sahabat karib Rabi’ah, menceritakan bahwa setiap hari Rabi’ah selalu melakukan shalat dan beribadah. Bila fajar menyingsing beliau tertidur sebentar. Dengan ibadah-ibadah yang beliau lakukan dapat mengangkat derajatnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Selain itu Rabi’ah telah memilih hidup zuhud dan selama hidupnya beliau tidak pernah menikah, walaupun beliau termasuk wanita yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran-lamaran laki-laki yang mau meminangnya. Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa Rabi’ah pernah dilamar oleh seorang yang sangat dihormati dan berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu, Abdul Wahid ibn Zaid. Tetpi ketika Abdul Wahid ibn Zaid datang menyampaikan lamaran pada Rabi’ah, ia mendapatkan jawaban “hai orang yang bersyahwat, carilah orang yang sepadan dengan engkau”. Menurut Abdul Mu’in Qandil, bahwa pada suatu hari seseorang bertanya pada Rabi’ah tentang pilihan hidupnya untuk tidak menikah, namun pertanyaan tersebut dijawab dengan tiga masalah yang selama ini menimbulkan keprihatinan dalam dirinya. Jika ada seseorang yang yang bias menjawab permasalahan tersebut maka beliau akan menikah dengan orang tersebut, yaitu :
  1. Apabila beliau meninggal, apakah beliau akan mengahadap Allah dalam keadaan iman dan suci atau tidak?
  2. Apabila beliau menerima catatan amal perbuatan, apakah menerima dengan tangan kanan atau tangan kiri?
  3. Bila sampai pada hari berbangkit, termasuk dalam golongan kanan yang masuk surga, atau termasuk dalam golongan kiri yang masuk neraka?
Demikianlah argument-argumen yang dimajukan oleh Rabi’ah dalam menolak setiap lamaran yang ingin memperistrinya. Oleh sebab kecintaannya kepada Allah yang begitu tulus Rabi’ah meninggalkan semua hal yang berhubungan tentang keduniawian.
Beliau menjalani dunia kesufian hingga berumur delapan puluh tahunan, karena pada usia itulah beliau meninggal dunia. Diceritakan oleh Muhammad bin Amr, “aku datang melihat Rabi’ah, ia seorang wanita yang sudah tua, berusia delapan puluh tahun. Di rumahnya aku lihat tempat gantungan baju dari kayu dari Persia, tingginya kira-kira dua hasta. Selain itu terdapat pula sebuah kendi dari tanah liat, sebuah tikar dari bulu. Ketika ajalnya hampir tiba ia memanggil Abdah binti Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik. Ia berkata, ”Janganlah kematianku sampai menyu-sahkan orang lain; bungkuslah mayatku dengan jubahku”. Rabi’ah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang saleh sebelum ia meninggal ingin mendampinginya disaat-saat terakhirnya, tetapi beliau menolak didampngi pada saat seperti itu. “Bangunlah dan keluarlah, lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku.” Mereka bangkit lalu keluar, ketika mereka menutup pintu terdengar suara Rabi’ah mengucapkan syahadat.3 Pada saat itulah guru sufi yang paling luhur dan berpengaruh telah tiada, berpulang ke rahmatullah. Mewariskan sebuah konsep tasawuf yang sangat popular hingga saat ini.
Konsep mahabbatullah Rab’ah al-Adawiyah
Pada masa hidupnya, rabi’ah telah membebaskan diri pada penghambaan dunia, dan beliau telah mengangkat martabatnya dalam ketakwaan, tulus dan ikhlas ke tingkat ma’rifat yang amat tinggi hingga pada saat itu dia merupakan orang yang berpengaruh besar. Dengan menjadi seorang guru para sufi-sufi yang lain beliau dapat menyalurkan pengalaman spiritual yang ia miliki dan juga memecahkan persoalan-persoalan yang dialami oleh para sufi lain dalam menempuh jalan menuju sang Kholiq. Sejak saat itu juga dari lidah beliau selalu tercipta kata-kata mutiara yang indah, hikmah kebijaksanaan yang dalam, dan tuntunan yang menyejukkan hati hingga beliau dijuluki guru perempuan sufi yang luhur oleh para sufi lainnya. Konsep mahabbatullah atau cinta kepada Allah yang merupakan pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah merupakan sebuah maqam atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah, bahkan mahabbatullah adalah puncak tertinggi dari semua maqam. Salah satu ungkapan Rabi’ah al-adawiyah kepada sang Kholik adalah:
Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Kau patut dicintai
Cintakulah yang membuat rindu pada-Mu
Demi cinta suci ini, bukalah, tabir penutup tatapan sembahku
Janganlah Kau puji aku lantaran itu, bagi-Mulah segala puja dan puji….
Robi’ah pernah ditanya oleh Sofyan ath-Thawri “Bagaimana sebenarnya hakikat imanmu?” beliau menjawab, “Aku mengabdi kepada-Nya, bukan karena takut akan neraka-Nya atau karena mengharapkan surga-Nya. Kalau demikian halnya aku seperti pekerja yang menyembah atau mengabdi pada-Nya karena mengahrap sesuatu”. Beliau juga mengungkapkan dalam sya’irnya :
Sekiranya aku beribadah pada Engkau
karena takut akan siksa neraka, biarkanlah neraka itu bersamaku
Dan jika aku beribadah karena harap akan surga
maka biar jauhkan aku dari surga itu
Tetapi bila aku beribadah karena cinta semata
maka limpahkanlah keindahan-Mu selalu…”.4
Cinta Rabi’ah al-Adawiyah yang tinggi sehingga merendahkan manusia mendorong dirinya meraih kesepurnaan tertinggi; ia bahkan menjelajahinya, untuk sirna dalam indahnya cinta yang tidak dialami oleh selain dirinya. Semata pada saat beliau telah mendalami sufisme dan kearifan, dan memperoleh pengalaman batin, kemudian terangkat naik semata mencari Wajah Allah SWT. Hingga beliau dapat mengetuk dan memohon dipintu yang lebih tinggi, dan menjadi semacam cahaya sebagaimana jiwa yang mengikat tubuhnya, mengapung dalam pemujaannya lebih tinggi dan makin tinggi serta semakin bercahaya hingga akhirnya mencapai surga dengan sendirinya.5 Oleh sebab itu Rabi’ah menghendaki agar manusia mengenal Allah sebaik-baiknya. Karena bila seorang telah mengenal Allah, maka ia akan mencintai-Nya, dan ikhlas mencintai serta beribadah kepada-Nya, bukan karena mengaharapkan pahala, atau takut pada siksa neraka-Nya.
Kemudian pada masa selanjutnya, cetusan tersebut -konsep mahabbatullah- terus berkembang di tangan beberapa sufi, dengan diperluas dan diberi nuansa-nuansa baru sesuai dengan pola pikir dan perkembangan yang ada. Dapat disebut sebagai contoh adalah; Jalaluddin ar-Rumi, Abu Yazid al-Bustami, Al-Ghazali, Al-Qusyairi, AL-Hujwiri, dan sebagainya. Al-Ghazali –dalam karyanya ‘Ihya Ulum al-Din’- membahas mahabbah secara luas. Dalam pembahasannya, Al-Ghazali antara lain memberi komentar pada salah satu sya’ir Rabi’ah tentang pembagian cinta. Dalam sya’ir tersebut:
Aku Mencintaimu-Mu dengan dua model cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena dir-iMu
Cinta karena diriku
Adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Ku
Adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
hingga engkau kulihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah untukku
Bagi-Mu segala pujian
Menurut Al-Ghazali, dalam mengomentari pembagian cinta tersebut, mungkin yang dimaksud dengan cinta karena diriku atau oleh dorongan hati belaka ialah cinta kepada Allah karena kebaikan dan karunia-Nya. sedangkan model cinta kedua, karena diri-Mu, adalah karena cinta sebab keindahan dan keagungan-Nya. Cinta yang terakhir inilah cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan.6
Simpulan
Maka dapat diambil konklusinya bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah adalah cinta yang tidak beralasan dan bersifat rindu terhadap keagungan dan keindahan Allah SWT. yang kemudian menuju perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Selain itu cinta Robi’ah kepada sang Kholik juga bisa disebut dengan cinta yang absolute, yaitu cinta yang sepenuhnya hanya kepada Allah dan tak seorangpun yang bisa dicintai Robi’ah karena cintanya hanyalah kepada Allah semata. Oleh karena itu ia selalu berkata, “Ya Allah, jadikanlah neraka tempat bagi orang-orang yang membangkang, dan jadikanlah surga bagi orang-orang yang menaati-Mu. Namun, untukku cukuplah keridhaan-Mu saja”.7


1 Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 46
2Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 35
3 Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt), hal. 75-76
4 Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 49
5 Widad El Sakkaki, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah : Dari Lorong Derita Mencapai Cinra Ilahi, (Surabaya: Tisalah Gusti, 1999), hal. 93-94
6 Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal.126-128
7 Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt), hal. 60

NIKAH BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dilihat dari segi etnis pada khususnya. Dari segi agama, Indonesia memiliki banyak agama seperti Islam, Hindu, Kristen, Budha, Katolik dan Konghucu. Dalam semua hal pasti ada dampaknya, begitu pula dengan Indonesia sendiri, dampak tersebut atau yang lebih pasnya disebut sebagai konsekuensi adalah adanya interaksi antar indivudunya, baik itu sesama maupun antar agama yang masing-masing mereka hidup dalam satu negara yaitu Indonesia toh walaupun mereka dalam sehari-harinya dihadapkan dengan berbagai hal perbedaan, baik itu dari segi kebudayaan, cara pandang hidup antar individual.
Dalam berkehidupan sosial seperti itu sangat mustahil sekali untuk dapat membatasi atau bahkan menghalangi mereka, karena di Indonesia sendiri hak asasi manusia sangat dijunjung tinggi. Sehingga nantinya pergaulan yang semacam itu akan menghasilkan sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh. Pacaran beda agama antara orang muslim dengan non muslim yang merupakan salah satu hasil dari pergaulan tersebut bukan tidak mungkin malah menjalar ketingkat yag lebih serius yaitu pernikahan, yang kemudian disebut dengan ’pernikahan antar agama ataupun pernikahan beda agama’.
Selain itu pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Hal tersebut akan menjadikan persoalan yang serius bagi agama-agama yang berada di Indonesia, Islam pada khususnya. Pandangan agama Islam mengenai persoalan-persoalan antar agama mayoritas ulama mengalami perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya pernikahan beda agama di praktekkan di Indonesia, yang tentunya masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam.
  1. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini kami dapat mengambil perumusan masalah sebagai berikut :
    1. Apa itu nikah?
    2. Bagai mana pendapat para ulama mengenai pernikahan beda agama?
  1. Pendekatan pembahasan
Dalam penulisan makalah ini kami memang sengaja memakai pendekatan secara kepustakaan, artinya dalam penulisan makalah ini penulis mengambil referensi dalam buku-buku fikih, baik itu yang klasik atupun yang fiqih kontemporer. Sehingga makalah yang kami tulis ini nantinya memiliki rujukan yang jelas, dan pastinya dapat dipercaya.
  1. Metodologi
  1. Metode pengumpulan data
  2. Metode pembahasan
  3. Metode analisis
  1. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang kami pakai pada makalah ini sengaja kami sajikan dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang adalah merupakan landasan pemikiran penulis dalam mengangkat tema tersebut, perumusan masalah sebagai pembatasan dengan tujuan untuk lebih fokusnya pembahsasan makalah ini, pendekatan pembahasan yaitu cara-cara bagaimana kami mendapatkan informasi dan bahan untuk makalah ini, metodologi yaitu metode kami dalam membahas makalah ini, dan sistematika pembahasan atau urutan-ururtan dalam makalah ini.
Pada bab kedua dalam makalah ini sengaja kami mambahas kembali tentang nikah, meliputi pengertian, tujuan, hukum dan wanita yang haram dinikahi. Karena kami pikir hal itu penting dibahas kembali untuk bisa membuat pembaca lebih matang lagi dalam mengkaji tentang nikah beda agama nantinya.
Bab ketiga, kami menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai pernikah beda agama meliputi pengertian nikah beda agama tersebut dan hukumnya.
Dan bab keempat, yang merupakan bab terakhir dalam penulisan makalah ini adalah penutup yang berisi kesimpulan dari semua pembahasan, dan saran-saran dari penulis untuk pembaca.
BAB II
NIKAH
  1. Pengertian Nikah
Pengertian nikah perlu dibahas terlebih dahulu sebelum kita memasuki lebih jauh pembahasan tentang nikah. Kata nikah berasal dari bahasa Arab Nakaha-Yankihu-Nikรขhan yang berarti kawin atau perkawinan. Kata nikah ini sudah diadopsi dari bahasa Arab dan menjadi kata bahasa Indonesia yang sangat populer serta ditujukan pada hajat manusia yang lain jenis dalam meresmikan perjodohannya. Sedangkan kata kawin sering diidentikkan dengan hal-hal yang negatif dan berbau kebinatangan. Umat islam yang meresmikan perjodohannya dengan pasangan pilihannya dengan disaksikan (diketahui) oleh masyarakat sekitarnya disebut telah melaksankan nikah, sedangkan umat manusia yang melakukan kumpul kebo bisa disebut kawin karena tidak berbeda jauh dengan binatang dalam hal memuaskan nafsu birahinya, serta tidak mengindakan aturan, norma dan nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan agama.
Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan ”pergaulan” sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agam. Aqad yang dimaksudkan di sini adalah pengucapan ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan pengucapan qabul dari pihak calon suami atau bisa diwakilkan.1
Sedangkan pengertian nikah menurut Abu Haifah adalah aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja.” Pengukuhan yang dimaksud adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan belaka.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah ”Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita, yang dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan zina.”
Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah ”aqad yang menjamin diperboleh-kannya persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan”.
Dan menurut mazhab Hambali adalah ”aqad yang di dalamnya terdapat lafadz pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.2 Bila diperhatikan kembali dari keempan definisi yang dipaparkan oleh beberapa mazhab di atas jelas, bahwa yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah aqad.
  1. Tujuan Nikah
Di dunia ini Allah menciptakan segala sesuatu dengan ada maksud atau tujuan tertentu, begitu pula dengan nikah. Tujuah nikah ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar terciptanya ketenangan jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.3
Menurut Ny. Soemijati, S.H., dalam buku Hukum Pernikahan Islam yang ditulis oleh Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H., disebutkan bahwa tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabi’at kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayag, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’at.
Rumusan tujuan pernikahan di atas dapat diperinci sebagai berikut:
  1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabi’at kemanusiaan
  2. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih
  3. Memperoleh keturunan yang sah
Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah pernikahan kepada lima hal, yaitu:
  1. Memperoleh keturunan sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
  2. Memenuhi tuntunan naluri hidup manusia
  3. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan
  4. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masya-rakat besar di atas dasar kecintaan dan kasih saying
  5. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggungjawab
  1. Hukum Nikah
Asal hukum melaksanakan pernikahan itu adalah mubah, namun dapat berubah sunnah, wajib, haram dan makruh berdasarkan sebab-sebab (illahnya). Yaitu:
  1. Sunnah
Hukum nikah itu menjadi sunnah apabila dipandang dari segi pertumbuhan fisik (jasmani) seseorang pria itu telah wajar dan berkeinginan untuk menikah, sedangkan baginya ada biaya sekedar hidup sederhana. Andaikata dia melaksanakan nikah akan mendapatkan pahala dan kalau dia tidak atau belum nikah tidak akan jatuh pada zina.
Bagi wanita yang belum mempunyai keinginan untuk melaksanakan nikah tapi membutuhkan perlindungan atau nafkah dari seorang suami maka hukumnya adalah sunnah baginya untuk melaksanakan nikah.
  1. Wajib
Wajib hukumnya untuk melaksanakan nikah jika seorang pria dipandang darisudut fisik (jasmani) pertumbuhannya sudah sangat mendesak untuk menikah, sedangkan dari sudut biaya kehidupan telah mampu dan mencukupi, sehingga kalau dia tidak menikah mengkhawatirkan dirinya akan terjerumus kepada penyelewengan melakukan hubungan seksual (zina). Demikian pula seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan orang jahat bila mana ia tidak manikah, maka wajib baginya manikah.
  1. Haram
Hukum nikah bisa berubah menjadi haram bila seorang laki-laki tersebut tidak mempunyai harta yang mencukupi, dan bila tidak melaksanakan nikah tidak akan jatuh pada zina.
Seorang pria atau wanita tidak bermaksud akan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri, atau pria ingin menganiaya wanita atau sebaliknya pria atau wanita ingin memperolok-olokkan pasangan saja maka haramlah yang bersangkutan itu menikah.4
  1. Makruh
Bias juga hukum nikah itu menjadi makruh apabila seseorang yang dipangdang dari sudut pertumbuhan jasmaniah telah wajar untuk nikah, walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup sehingga kalau dia nikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup istri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya untuk menikah. Tetapi andaikata dia menikah juga tidak berdosa atau tidak pula berpahala sedangkan apabila dia tidak menikah dengan pertimbangan kemaslahatan itu dia mendapatkan pahala.
Ditinjau dari sudut wanita yang telah wajar untuk nikah tetapi ia meragukan dirinya akan mampu mematuhi dan menta’ati suaminya serta mendidik anak-anaknya, maka makruh baginya untuk melaksanakan nikah. Makruh hukumnya menikahi pria yang belum mampu mendirikan rumah tangga dan belum mempunyainiat untuk kehendak melaksanakan nikah.5
  1. Wanita yang Haram di Nikahi
Dalam islam ditetapkan bahwa laki-laki tidak bebas memilih perempuan untuk dijadikan istri. Ada ketentuan yang baku tentang perempuan yang boleh dinikahi dan yang tidak. Perempuan yang boleh dinikahi adalah perempuan yang bukan muhrim bagi laki-laki yang bersangkutan seperti saudara perempuan, anak tiri, anak kandung, dan sebagainya. Dalam hal ini perempuan-perempuan yang haram dinikahi dikatagorikan ke dalam dua bagian,6 yaitu:
  1. Perempuan yang haram dinikahi untuk selama-lamanya, meliputi:
  1. Karena ada hubungan darah
  • Ibu, nenek (ibu dari ibu dan ibu dari bapak), dan seterusnya sampai ke atas.
  • Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya sampai kebawah.
  • Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu saja.
  • Saudara perempuan dari ayah dan ibu (bibi atau tante).
  • Anak perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan (keponakan) dan seterusnya sampai kebawah.

  1. Karena ikatan pernikahan
  • Ibu dari istri (mertua).
  • Anak tiri (dengan catatan apabila sudah berhubungan intim dengan ibunya).
  • Istri dan anak (menantu).
  • Istri ayah (ibu tiri).
  • Dua perempuan bersaudara dinikahi sekaligus.
  1. Karena ikatan susuan
  • Ibu yang mengusui, nenek (ibu dari ibu yang menyusui), dan seterusnya sampai keatas.
  • Anak dari ibu yang menyusui (anak susuan) dan seterusnya sampai kebawah. 7
Keharaman menikahi perempuan karena ada ikatan sesusuan sama dengan perempuan yang disebabkan hubungan darah atua keturunan. Hal ini termaktub dalam hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwa-yatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yaitu ”Haram karena disebabkan ikatan sesusuan sama dengan sesuatu yang haram karena ada hubungan darah.”8
  1. Perempuan yang haram dinikahi untuk sementara waktu saja, yaitu:
  1. Menikahi dua perempuan yang bersaudara sekaligus. Artinya selama si A masih ada ikatan suami istri dengan B, si A menikahi si C, sedang si B dan C adalah saudara.
  2. Menikah dengan lebih dari empat perempuan. Laki-laki hanya boleh menikahi perempuan sebanyak empat orang, lebih dari itu (perempuan yang kelima) haram hukumnya. Kalau salah satu dari empat perempuan itu dicerai atau meninggal dunia maka sang suami boleh menikah lagi.
  3. Perempuan yang ditalak tiga. Mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga adalah haram menikahi perempuan itu. Tetapi, jika perempuan itu nikah dengan laki-laki lain kemudian dicerai dan masa iddahnya juga habis maka laki-laki yang bersangkutan (mantan suami yang menjatuhkan taak tiga di atas) boleh menikahi kembali.
  4. Perempuan yang masih menjadi istri orang lain dan perempuan yang masih dalam masa iddahnya. Laki-laki yang ingin menikahi istri orang lain adalah haram hukumnya, demikian juga menikahi perempuan yang masih dalam masa iddah.


BAB III
PENDAPAT PARA ULAMA MENGENAI NIKAH BEDA AGAMA
  1. Pengertian Nikah Beda Agama
Di atas telah penulis paparkan mengenai pengertian nikah, di sini penulis juga akan memaparkan pengertian nikah, tapi nikah yang dimaksudkan di sini adalah pengertian nikah beda agama. Menurut Rusli, SH dan R. Tama, yang dimaksud dengan pengertian pernikahan beda agama adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan, yang karena berbeda agama. Menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan pernikahan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut I. Ketut Madra, SH dan I. Ketut Artadi, SH yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing berbeda agamanya dengan mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Abdurrahman, SH yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. 9
Dari berbagai pengetian nikah beda agama yang dikemukakan oleh para sarjana diatas dapat kami simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan beda agama menurut mereka adalah pernikahan antar dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.




  1. Hukum Nikah Beda Agama
Dalam hal pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik ulama sepakat menghukumi haram. Alasan yang cukup sederhana bahwa mereka juga akan mempunyai banyak perbedaan, baik itu dilihat dari segi agama, pemikiran, kebudayaan, peradaban, dan yang paling urgen adalah cara hidup mereka sangat berbeda sekali dengan orang muslim, maka sangatlah tidak mungkin bagi seorang muslim untuk menikahi orang musyrik. Kalau seandainya dengan perbedaan-perbedaan yang mereka miliki masih mengadakan ikatan yang disebut dengan pernikahan, hubungan cinta mereka hanya akan bersifat badani.10 Selain alasan yang telah kami paparkan, juga dijelaska di dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 221:
                                             
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Ayat di atas sangat jelas bahwa Allah sangat melarang orang muslim menikahi orang non muslim kecuali orang ahli kitab.
Pada sisi agama Islam, masalah pernikahan antara orang muslim dengan orang non muslim ini sebenarnya terbagi dalam dua kasus keadaan. Pertama, pernikahan antara laki-laki non muslim baik itu laki-laki musyrik atupun ahli kitab dengan wanita muslim. Kedua, pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
  1. Pernikahan antara laki-laki non muslim baik itu laki-laki musyrik atupun ahli kitab dengan wanita muslim.
Pada kasus pertama ini para ulama sepakat untuk menghukumi haram pernikahan antara seorang wanita muslim dengan laki-laki non muslim baik itu laki-laki musyrik ataupun ahli kitab, dan hukum pernikahannya tidak sah. Jadi, bisa dikatakan jika seorang wanita muslim memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non muslim (ahli kitab), maka akan dianggap berzina. Karena sifat mereka yang lunak dan lembut, maka jikalau seandainya wanita muslim tersebut mendapatkan suami non muslim dan hidup dalam masyarakat non muslim, dimungkinkan wanita muslim tersebut akan mengikuti cara hidup pasangan mereka yang non muslim dan tidak mungkin dia dapat mempengaruhi pikiran mereka berhubung hukum suami istri dalam islam adalah istri berada dalam kekuasaan suami dan dikhawatirkan wanit muslim murtad dari agama islam dan mengikuti agama suaminya.11 Selain dari alasan tersebut, kita ketahui bahwa selama ini tidak ada sejarah ataupun dalil yang membahas tentang bolehnya seorang perempuan muslimah menikah dengan orang ahli kitab ataupun orang musyrik.
  1. Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
Seorang laki-laki muslim haram hukumnya menikah dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), Pada surat al-Baqarah ayat 221 tersebut di jelaskan bahwa yang menjadi sebab haramnya pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik yaitu hanya akan menjerumuskan orang muslim tersebut kepada jalan kemusyrikan, dan perlu di garis bawahi bahwa pernikahan itu bukan hanya hubungan yang berbau seksual belaka, tetapi juga meliputi hubungan batin dan budaya. Boleh jadi orang muslim itu akan mempengaruhi orang musyrik sehingga dia dan keluarganya berkenan beralih agama kepada agama islam, tapi juga tidak mustahil malah sebaliknya orang muslim tersebut yang malah beralih agama kepada agama pasangannya sehingga menuju jalan kemusyrikan. Hal yang tidak dapat dipungkiri bila seorang muslim menikah dengan seorang yang musyrik adalah bercampurnya keturunan orang muslim dengan orang non muslim. Orang musyrik mungkin akan menyetujui hal tersebut, tapi jika kita sebagai orang muslim yang bertauhid selayaknya kita lebih suka mengendalikan hawa nafsunya ketimbang melakukan suatu perbuatan yang akan menyesatkan keimanan dan menjadikan musyrik baginya atau paling tidak keturunannya, resiko tersebut tidak akn diambil oleh seorang muslim hany untuk memuaskan hawa nafsu syahwatnya semata12.
Mengenai pernikahan antara laki-laki muslim dengan ahli kitab ulama juga mengalami perbedaan hukum, ada yang membolehkan dan juga ada yang mengharamkan.
  1. Pendapat yang memperbolehkan
Menurut pendapat jumhurul ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’I maupun Hambali seorang laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan Negara Islam atau juga yang disebut dengan kafir Dzimmah.13 Dengan berdasarkan pada Al-Quran surat al-Maidah ayat 5:
                                              
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
Selain berlandaskan kepada al-Quran mereka juga kembali pada sejarah bahwa di antara para shahabat ada pula yang menikah dengan ahli kitab seperti Usman bin Affan yang mengawini Nailah binti al-Gharamidah seorang wanita beragama Nasrani, yang kemudian masuk islam, begitu pula dengan Hudzaifah mengawini waniti Yahudi dari penduduk Madinah. Landasan pada kelompok pertama juga kepada Jabir ra. yang pernah ditanya tentang pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Yahudi atau Nasrani, beliau menjawab “kamipun pernah menikah dengan mereka pada waktu penaklukan Kufah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash”.14
Meskipun di atas telah dijelaskan bahwa kalangan Jumhurul Ulama sepakat memperbolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab namun masih ada perdebatan tentang makruh dan sunnahnya.15
  1. Menurut pendapat yang haram
Menurut golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah mereka berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita ahli kitab. Golongan yang kedua ini juga berdasarkan pada beberapa dalil yang di antaranya adalah Al-Quran surat al-Muntahanah ayat 10:
                                                                
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
landasan mereka terdapat pada kalimatdan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.
Dalil kedua yang dijadikan landasan hukum golongan ini adalah pada Al-Quran surat al-Baqarah ayat 221:
     (…).......
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman……(ila akhirihi).
Golongan ini menganggap bahwa orang ahli kitab itu adalah musyrik (menyekutuukan Allah) berdasarkan riawayat Ibnu Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum mengawini wanita Nasrani dan Yahudi. Beliau menjawab “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang mukmin, saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari pada anggapan seorang wanita (Nasrani), bahwa Tuhannya adalah Isa. Padahal Isa hanyalah manusia dan hamba Allah”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas oleh golongan kedua, bahwa mereka berpendapat atau mempunyai anggapan bahwa ahli kitab itu sama dengan orang musyrik, akan tetapi telah dikelaskan bahwa antara orang ahlikitab dan orang musyrik itu berbeda, yaitu di dalam Al-Quran surat al-Bayinah ayat 6:
                 
Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”
Dari ayat di atas, pada kata-kata sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik, telah menunjukkan bahwa antara orang ahli kitab dan orang musyrik berbeda karena ahli kitab dan orang musyrik merupakan bagian dari orang kafir. Maka menurut hemat penulis pendapat yang kedua tentang boleh dan haramnya pernikahan antara orang muslim dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah pendapat yang dlo’if (lemah).
BAB IV
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Bab-bab sebelumnya telah membahas mengenai nikah itu sendiri dan pendapat-pendapat para ulama mengenai nikah beda agama, jadi pada bab inikami dapat mengambil simpulan sebagai berikut:
  1. Kata nikah berasal dari bahasa Arab Nakaha-Yankihu-Nikรขhan yang berarti kawin atau perkawinan. Kata nikah ini sudah diadopsi dari bahasa Arab dan menjadi kata bahasa Indonesia yang sangat populer serta ditujukan pada hajat manusia yang lain jenis dalam meresmikan perjodohannya. Sedangkan menurut syara’ adalah melakukan aqad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan ”pergaulan” sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agam.
Tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar terciptanya ketenangan jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
Hukum melaksanakan pernikahan itu adalah mubah, namun dapat berubah sunnah, wajib, haram dan makruh berdasarkan sebab-sebab (illahnya).
Perempuan yang haram untuk dinikahi selama-lamanya adalah perempuan yang mempunyai hubungan darah, ikatan pernikahan, dan saudara tunggal susuan. Selain itu ada juga perempuan yang haram dinikahi untuk sementara waktu, yaitu menikahi dua orang perempuan yang bersaudara sekaligus, menikah dengan lebih dari empata orang, perempuan yang ditalak tiga, perempuan yang masih menjadi istri orang lain dan masih dalam masa iddahnya.


  1. Pernikahan beda agama menurut para sarjana di atas adalah mereka adalah pernikahan antar dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
Dalam hal pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik ulama sepakat menghukumi haram begitu pula dengan pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim baik itu ahli kitab. Akan tetapi mengenai pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan boleh dan juga ada yang mengatakan tidak. Namun pendapat yang mengatakan tidak boleh adalah pendapat yang lemah, karena menganggap orang ahli kitab sama dengan orang musyrik, padahal tidak.
  1. Saran-Saran
Pada bagian pertama dalam bab empat ini kami telah mendapatkan simpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya. Oleh sebab itu kami harap pembaca dapat menyikapi dengan baik mengenai masalah pada realita yang terjadi di negara kita Indonesia ini yaitu pernikahan beda agama yang sudah banyak terjadi dan tidak bisa dianggap remeh. Tentunya dengan lebih berhati-hati dalam memilih pasangan hidup kita sendiri, yang sesuai dan patuh serta mendapatkan ridha dari orang tua kita.

1 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 5-6
2 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 1-2
3 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 26-27
4 Ibid, hal. 23
5 Ibid, hal. 21-23
6 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 118
7 Ibid, hal. 122-123
8 Yang dimaksudkan dengan menyusui di atas tersebut adalah bila mana sang anak msih belum berumur dua bulan dan dilakukan (disusui) lebih dari lima kali, kalau anak tersebut masih berumur dua bulan atau di bawahnya dan dalam menyusuinya tidak lebih dari lima kali maka belum termasuk mahram, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i ini berlandaskan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan bahwa Aisyah r.a berkata, “Pada mulanya yang diturunkan ayat al-Qur’an sepuluh kali susuan yang masuk katagori mahram, kamudian dinasakh oleh lima kali susuan hingga Rasulullah SAW. meninggal dunia.” (Mohammad Asmawi, 2004, hal.123-124)
9 Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1996), hal. 35-36
10 Abul A’la Al-Maududi. Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1983), hal. 14
11 Ibid, hal. 15
12 Abdur Rahman, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 238-242
13 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT RajGrafindo Persada, 1996), hal. 11
14 Ibid. Hal:12
15 Pertama, sebagian madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali mengatakan bahwa hukum pernikahan itu makruh, dan di sini Syafi’I dan Maliki menambah bahwa kedua orang tua yang bersangkutan harus beragama Yahudi dan Nasrani, tapi kalau seandainya kedua orang tua yang bersangkutan menganut selain Yahudi dan Nasrani maka laki-laki muslim tersebut tidak boleh mengawini wanita ahli kitab tersebut, sekalipun kedua orang tuanya kemudian beralih agama kepada Yahudi atau Nasrani. Lain halnya dengan Maliki dan Hanafi, menurut mereka laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab sekalipun kedua orangtuanya atau nenek moyangnya tidak beragama Yahudi ataupun Nasrani. (Mohammad Asmawi, 2004, hal. 135-136)
Kedua, menurut pendapat sebagaian madzhab Maliki, Ibnul Qosyim, Khalil bahwa pernikahan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Maliki. Pendapat tersebut berdasarkan bahwa al-Quran mendiamkannya. Karena mendiamkan maka dianggap sebagai persetujuan dan artinya boleh-boleh saja. (Abdur Rahman, 1996, hal. 245) Ketiga, Az-Zarkasyi (mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunnahkan, apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk islam. Seperti Usman bin Affan yang menikahi Na’ilah.